Sumber Hukum Islam

By : Aryo Ardhi, Fak. Syari'ah, Semester IV

Pernah satu kali saya berjanji untuk belajar menuliskan apa yang saya sedikit ketahui tentang hukum Islam, khususnya berkaitan dengan Hukum Pidana Islam.  Dalam tulisan saya hampir setahun yang lalu (buset, udah lama juga), saya berniat untuk menyajikan tulisan berkaitan dengan hal ini.  Tapi kesibukan-kesibukan di kantor, rumah, di kampung, dan kesibukan-kesibukan lainnya yang tak habis-habisnya karena saya buat sendiri seperti nonton liga inggris.  Kesibukan ini seolah menyita waktu saya untuk menuliskan barang sedikit saja (yang saya tahu) tentang hukum pidana Islam.  Bahkan belum sempat saya memenuhi janji untuk menulis, saya sudah sesumbar menulis hal yang lain lagi.  Halah…


Dalam tulisan saya sebelumnya, sempat saya singgung bahwa Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana dalam Islam membagi 3 bagian besar kelompok pidana dan acara pidananya. Tetapi sebelum membicarakan hal tersebut, dalam tulisan ini saya ingin membicarakan tentang sumber hukum Islam yang pada akhirnya nanti digunakan sebagai sumber bagi hukum pidana Islam dan hukum acaranya.

Seperti yang (mungkin) kita ketahui bahwa sumber utama (primary sources) dari Hukum Islam adalah Alquran dan Sunnah (yang bentuknya adalah dalam teks hadits).  Sedangkan sumber lain bagi Hukum Islam (Secondary sources) adalah tulisan-tulisan atau pendapat-pendapat para cendekiawan muslim yang diformulasikan pasca wafatnya Rasulullah SAW, yang pada umumnya ditulis pada masa keemasan keilmuandalam islam, yaitu pada jaman disnasti Abbasiyah (750-950 M), kemudian biasa disebut ilmu fiqih; teks-teks hukum dalam Islam yang ditulis oleh tokoh-tokoh Islam terkemuka (biasanya terbatas pada madzhabnya masing-masing); dan Fatwa, atau aturan yang berlaku bagi muslim yang dikeluarkan oleh para ulama dalam rangka menjawab pertanyaan ummat berkaitan dengan sesuatu hal yang spesifik tergantung situasi, kondisi, waktu dan lokasi pada saat dibuatnya fatwa tersebut. 

1.  Alquran

Alquran bukanlah tulisan hukum, namun di dalam Alquran terkandung setidaknya 500 perintah Allah SWT yang sifatnya berkaitan dengan hukum.  Abdur Rahman i Doi (Shari’ah: The Islamic Law, 1989) membuat klasifikasi atas aturan-aturan yang terkait dengan hukum ke dalam empat bagian besar yaitu: a) The concise injunctions, atau perintah-perintah Allah yang tertulis di dalam Alquran namun tidak ditemui penjelasan tentang tata cara pelaksanaan atas perintah tersebut.  Sebagai contoh adalah perintah Allah untuk mendirikan shalat, berpuasa atau mengeluarkan zakat;  b) The concise and detailed injunctions, atau perintah-perintah Allah yang secara jelas tertulis dalam Alquran, dan penjelasan atas ayat-ayat tersebut bisa didapati dari hadits atau sumber hukum Islam lainnya.  Sebagai contoh adalah aturan mengenai hubungan muslim dengan non-muslim; c) The detailed Injuctions, yaitu dimana Alquran telah memberikan penjelasan yang detail berkaitan dengan satu perintah Allah SWT, dan tidak diperlukan adanya lagi suatu penjelasan tambahan.  Sebagai contoh adalah hukuma hadd (huddud); dan d) Fundamental principles of Guidance, prinsip-prinsip ini tidak memiliki penjelasan yang terperinci dan pasti (clear cut), sehingga untuk menetukan hukum atas hal-hal tersebut perlu diambil melalui suatu proses yang dinamakan ijtihad.

2.  Hadits dan Sunnah

Sunnah adalah segala perbuatan dan perkataan Rasulullah, termasuk segala sesuatu yang disetujui oleh Beliau.  Hadits sendiri berarti segala hikayat atau pembicaraan yang digunakan dalam meriwayatkan segala sesuatu tindak tanduk Rasulullah, sehingga sunnah dapat berarti sebuah contoh perbuatan atau hukum yang diambil dari adanya suatu hadits.  Berkaitan dengan Shariah, hanya sunnah yang berkaitan dengan hukum sajalah yang dikategorikan sebagai suatu sumber hukum Islam, sehingga sunnah yang tidak langsung berkaitan seperti bagaimana teknik pertanian, strategi peperangan, dan lain sebagainya tidak dianggap sebagai sebuah sumber hukum Islam atau hukum pidana Islam.

Sunnah sendiri digunakan dalam berbagai keperluan diantaranya adalah untuk menkonfirmasi hukum-hukum yang sudah disebutkan dalam Alquran, untuk memberikan penjelasan tambahan bagi ayat Alquran yang menjelaskan sesuatu secara umum, untuk mengklarifikasi ayat-ayat Alquran yang mungkin dapat menerbitkan keraguan bagi ummat, dan memperkenalkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam alquran.  Kompilasi atas hadits dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim yang secara umum dikumpulkan oleh empat periwayat hadits terkemuka yaitu kompilasi hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (870M), Muslim (875M), Abu Dawud (888M), dan At-Tirmidhi (892M).  Mungkin masih ada hadits yang diriwayatkan oleh selain empat ulama terkemuka ini, namun secara umum umat muslim mengenal empat kompilasi hadits yang dikumpulkan atau diriwayatkan ulama di atas.  Hadits sendiri diklasifikasikan berdasarkan kualitas dari periwayatnya (bisa dipercaya) dan kekuatan dari isnad atau bagaimana hubungan antara para periwayat itu sendiri, sehingga dapat digolongkan dalam tiga jenis: Muwatir, Mashhur, dan Ahad.  Masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri yang menandakan kualitas dari hadits-hadits tersebut.

3.  Madhabs (pl. Madhabib)

Sumber-sumber bagi Hukum Islam adalah pendapat-pendapat dan tulisan-tulisan dari para ulama, cendekiawan muslim, atau para hakim yang dibuat setelah Rasulullah SAW wafat.  Ilmu-ilmu yang dikompilasikan oleh para ulama ini merupakan sumber-sumber hukum Islam yang sangat bernilai bagi umat muslim sebagai hingga saat ini.  Berdasarkan aliran dalam Islam yang ada saat ini, secara umum terdapat dua aliran besar yaitu Sunni dan Shiah.  Empat aliran besar (madhabs) yang tergolong dalam aliran sunni adalah Madhad Hanafi, Maliki, Hambali, dan Shafii.  Sedangkan satu aliran yang terdapat dalam Shiah adalah Madhab Shiah itu sendiri.

Madhad Hanafi dikembangkan oleh seorang ulama dan cendekiawan muslim yaitu Imam Abu Hanifa (80-150 H, atau 702-772M), dan muridnya yang terkenal Abu Yusuf dan Muhammad.  Mereka menekankan pada penggunaan alasan-alasan dan shura atau diskusi kelompok daripada semata-mata mengikuti aturan atau tradisi yang telah ada secara turun temurun.  Madhab ini paling banyak berkembang dan dikuti di India dan Timur Tengah, serta pernah menjadi mdhab resmi yang digunakan di Turki (dinasti ottoman).

Madhab Maliki mengikuti ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ulama dan cendekiawan muslim Imam Malik (lahir 95H atau 717M) yang menitikberatkan pada praktek-prakte yang diterapkan penduduk di Madinah sebagai suatu bentuk contoh kehidupan Islam yang paling otentik.  Saat ini, ajaran-ajaran Imam Malik atau madhab Maliki paling banyak ditemui hampir di seluruh bagian wialayah muslim di benua Afrika.

Madhab Hambali dikembangkan oleh ulama dan cendekiawan muslim yang bernama Imam Ahmad ibnu Hambali (lahir 164H atau 799M) yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan ketuhanan serta mengadopsi pandangan yang tegas terhadap hukum.  Saat ini madhab Hambali secara dominan diterapkan di saudi Arabia.

Madhab Shafi'i didirikan oleh seorang ulama dan cendekiawan bernama Imam As-Shafii (lahir 150 H atau 772M) adalah merupakan murid dari Imam Malik dan pernah belajar dari beberapa tokoh cendekian muslim yang paling terkemuka pada saat itu.  Imam As-Shafii terkenal karena ke-moderat-annya dan penilaiannya yang berimbang, dan walaupun Beliau menghormati tradisi, Imam As-Shafii mengevalusinya secara lebih kritis dibandingkan dengan Imam Malik.  Para pengikut madhab Shafii secara dominan diikuti oleh umat muslim yang berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Madhab Shiah yang dianut oleh sekitar 10% umat muslim saat ini, menurut sebagian cendekiawan lebih diakibatkan sebagai akibat dari pergesekan politik dalam dunia muslim terhadap pendapat bahwa pemimpin umat muslim harus selalu merupakan keturunan dari keluarga Ali, yaitu keponakan dari Rasulullah sekaligus suami dari puteri nabi Fatimah.  Madhab yang masih memiliki sub-madhab (katakanlah seperti itu) seperti Ithna’ashaaris dan Isma’ilis saat ini ditemui secara dominan di negara Iran, serta memiliki pengikut yang juga mayoritas di Iraq, India, dan negara-negara kawasan teluk.

4.  Tulisan-tulisan tentang hukum Islam

Banyak ulama, cendekiawan muslim dan ahli hukum islam telah menulis buku-buku yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam.  Tulisan-tulisan ini juga dipandang sebagai sumber-sumber hukum yang diakui dan berlaku terutama di dalam kalangan madhab mereka masing-masing.

5.  Fatwa

Fatwa adalah aturan hukum yang dikeluarkan oleh seorang ulama atau cendekiawan muslim yang terkemuka dalam menjawab pertanyaan atau memberikan aturan terhadap hal-hal yang sifatnya khusus saja.  Fatwa juga harus berasal dari sumber dan merupakan turunan hukum Islam serta dihasilkan oleh para ulama dan cendekiawan muslim yang terkemuka (mujtahidin) yang dilakukan melalui proses ijtihad dan diambil hanya jika sumber hukumnya tidak jelas atau belum ada.

Untuk tulisan kali ini berkaitan dengan sumber hukum Islam akan saya akhiri disini berhubung hari sudah menginjak pagi (00.42 WIB), sehingga saya tulisan ini mesti saya akhiri hingga di sini.  Mohon maaf bila tulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan karena memang saya juga masih dalam taraf belajar.  Mohon kiranya para pembaca yang mengetahu adanya kesalahan dalam tulisan ini untuk memberikan koreksi karena segala kesalahan dan kekurangan yang ada dalam tulisan ini sepenuhnya adalah karena kekhilafan dan ketidaktahuan saya.  Sesungguhnya kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT.

Tulisan berikutnya, mungkin saya akan sedikit mebahas bagaimana dan apa sajakah model dari kegiatan atau proses menemukan menemukan hukum dalam Islam tersebut, serta bagaimana kondisi hukum Islam yang ada di dunia (berlaku pada negara mana saja dan bagaimana kategorinya).  Setelah itu barulah saya akan memulai membahas hukum pidana Islam dan Hukum Acara Pidana Islam.

Wassalam, 
 
ISLAM DAN SEKULARISME DALAM CITA

Pengertian Sekularisme

Sekularisme adalah aliran atau sistem doktrin dan praktik yang menolak segala bentuk yang diimani dan diagungkan oleh agama; atau pandangan bahwa masalah keagamaan (ukhrawi/surgawi) harus terpisah sama sekali dari masalah kenegaraan (urusan duniawi). Secara etimologis istilah "sekuler" berasal dari bahasa Latin, saeculum, yang bermakna ganda, yakni "ruang" dan "waktu". Istilah "ruang" menunjuk pada pengertian "dunia" atau "duniawi", sedangkan "waktu" pada pengertian "sekarang" atau "kini". Kata "sekuler" berkembang menjadi sebuah istilah yang diartikan sebagai bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian. Bahasa Arab untuk "sekuler" adalah 'ilmaniyyah, suatu kata yang berakar dari kata 'ilm yang berarti "ilmu pengetahuan" atau "sains".

Dari kata "sekuler" muncul istilah "sekularisasi" yang antara lain mengandung arti "proses melepaskan diri dari ikatan keagamaan." Sekularisasi dapat juga diartikan sebagai pemisahan antara urusan kenegaraan dan urusan keagamaan, atau pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrawi (akhirat).

Dari kata "sekuler" juga muncul istilah "sekularisme", yang diperkenalkan pertama kali oleh filsuf George Jacob Holyoake pada tahun 1846. Menurutnya, sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah, terlepas dari agama wahyu atau supernaturalisme. Definisi lain dari sekularisme dikemukakan oleh A Hornby (ahli bahasa berkebangsaan Amerika). Menurutnya, sekularisme adalah suatu pandangan bahwa pengaruh lembaga keagamaan harus dikurangi sejauh mungkin dan bahwa moral dan pendidikan harus dipisahkan dari agama.

Akar historis dari konsep sekularisme tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kristen di dunia Barat. Di Barat pada abad modern telah terjadi proses pemisahan antara hal-hal yang menyangkut masalah agama dan nonagama (bidang sekuler) yang diawali dengan ketidakserasian antara hasil penemuan sains atau ilmu pengetahuan di satu pihak dan dogma Kristen di pihak lain.

Di dunia Islam, istilah "sekuler" pertama kali dipopulerkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog terkemuka dan politikus nasionalis Turki. Dalam rangka pemisahan antara kekuasaan spiritual khalifah dan kekuasaan duniawi sultan di Turki Usmani (Kerajaan Ottoman) pada masa itu. Ia mengemukakan perlunya pemisahan antara <I>diyanet<I> (masalah ibadah serta keyakinan) dan muamalah (hubungan sosial manusia).

Islam dan Sekularisme

Penandingan dua kata yaitu Islam dan Sekularisme oleh Al Attas sebagai judul bukunya menunjukkan derajat kepentingan keduanya dalam tataran ideology. Al Attas memang membedakan sekularisasi dengan sekularisme. Sekularisasi adalah proses menuju ke akhir yaitu sekularisme. Sekularisasi merujuk pada tiga hal yaitu penidak keramatan alam (yaitu pembebasan alam dari nilai- nilai keagamaan), desakralisasi politik dan dekonsekrasi nilai (yaitu pemberian makna sementara). Saat sekularisme tercapai, maka maka tidak ada lagi dekonsekrasi nilai karena nilai- nilai menjadi final. Artinya alam benar benar telah bebas dari agama serta politik tidak lagi sakral dan dihormati. Tidak ada lagi proses “menuju”, segalanya sudah “menjadi”.

Menurut Al Attas, Islam menidak keramatkan alam, tetapi tidak dengan membebaskan alam dari hal- hal yang berbau religi/ membebaskan nilai agama dari alam. Islam menidakkeramatkan alam dengan cara membuang segala bentuk legenda, mitologi, budaya- budaya yang berbau syirik. Islam memandang alam sebagai tanda- tanda Tuhan/ divine presence, sehingga menghormati alam sama dengan menghormati Tuhan. Dalam hal ini saya memandang Al Attas lebih dapat menguraikan posisi alam secara lebih jelas dibandingkan Nasr (Lihat Sayed Hossein Nasr- Nestapa Manusia Modern)

Pengertian sekularisme dalam pandangan ulama dan ilmuwan Islam sangat beragam. Sayid Qutub (filsuf Muslim dari Mesir, 1906-1966) mendefinisikannya sebagai pembangunan struktur kehidupan tanpa dasar agama. Karena itu, sekularisme bertentangan dengan Islam, bahkan merupakan musuh Islam yang paling berbahaya.

Pandangan Qutub didukung oleh Altaf Gauhar (filsuf Muslim kontemporer dari Mesir) yang menyatakan bahwa sekularisme dan Islam tidak mempunyai tempat berpijak yang sama. Esensi Islam berantitesis terhadap sekularisme.

Pandangan lain tentang sekularisme dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang menunjuk pada suatu ideologi atau paham yang menidakkeramatkan (desakralisasi) alam dan politik. Ia menjelaskan bahwa Islam tidaklah sama dengan Kristen. Karena itu, sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat tidaklah sama dengan apa yang terjadi pada masyarakat Muslim. Akan tetapi, Naquib mengingatkan bahwa kita harus melihat sekularisasi tidak hanya terbatas pada dunia Barat. Pengalaman mereka atas hal itu dan sikap mereka terhadapnya sangat berguna untuk dipelajari kaum Muslim di seluruh dunia.

Tentang pandangan Islam terhadap sekularisme, Naquib al-Attas dengan tegas menyatakan bahwa pada dasarnya Islam menolak segala bentuk sekularisme. Bahkan, Islam secara total menolak penerapan apa pun mengenai konsep-konsep sekuler, sekularisasi, maupun sekularisme, karena semuanya itu bukanlah milik Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal. Naquib mengemukakan alasannya bahwa Islam adalah agama yang lengkap, sempurna, dan sesuai dengan kondisi manusia sejak awal. Karena itu, agama Islam tidak membutuhkan "perkembangan" atau "perubahan" lebih lanjut.

Hal senada dikemukakan almarhum Prof Dr H Mohammad Rasjidi. Rasjidi beranggapan bahwa sekularisme dan sekularisasi membawa pengaruh merugikan bagi Islam dan umatnya. Karena itu, keduanya harus dihilangkan. Baginya, pemikiran baru itu memang dapat menimbulkan dampak positif, seperti membebaskan umat dari kebodohan. Akan tetapi, istilah ini sama sekali tidak mempunyai akar dalam Islam dan hanya tumbuh dan berlaku di Barat.

Sementara Dr Nurcholish Madjid dengan jelas membedakan antara makna sekularisme dan sekularisasi. Pembedaan antara keduanya dapat dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Ia menganjurkan setiap orang Islam bersikap rasional, tetapi bersamaan dengan itu melarang orang Islam menjadi rasionalis sebab rasionalis berarti mendukung rasionalisme, sedangkan yang disebutkan terakhir ini bertentangan dengan Islam. Rasionalisme mengingkari keberadaan wahyu sebagai media untuk mengetahui kebenaran. Dengan kata lain, rasionalisasi mempunyai arti terbuka karena merupakan suatu proses, sedangkan rasionalisme mempunyai arti tertutup karena merupakan suatu paham atau ideologi. Demikian pula halnya dengan sekularisme dan sekularisasi.

Menurutnya, sekularisasi adalah suatu proses penduniawian yang dalam pengertian ini peletakan peranan utama pada ilmu pengtahuan. Karena itu, sekularisasi adalah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya.

Umat Islam hendaknya memberikan perhatian yang wajar kepada aspek duniawi kehidupan ini. Meskipun demikian, sekularisasi bukanlah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, yang merupakan suatu ideologi yang bersifat tertutup, melainkan justru dimaksudkan sebagai Islamisasi atau pentauhidan.

Sekularisme dan Fitrah Manusia

Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nizhamul Islam (2001) mengatakan bahwa sekularisme bertentangan dengan fitrah manusia, yang terwujud secara menonjol pada naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an (pensucian); di samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Jika pengaturan kehidupan diserahkan kepada manusia, akan tampak perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya.

Sebagai contoh ketidakmampuan manusia ini, bisa kita saksikan sistem hukum di Indonesia yang melahirkan banyak pertentangan dan kontradiksi. Di Indonesia diterapkan 3 sistem hukum,yaitu hukum adat, hukum sipil (warisan Belanda), dan hukum Islam. Akibat beragamnya sistem hukum ini, timbul banyak problem, antara lain adanya kontradiksi hukum positif dengan Syariah Islam. Hukum pidana (KUHP) peninggalan penjajah, falsafah yang mendasarinya sangat bertolak belakang dengan syariah Islam. Misalnya dalam kejahatan kesusilaan, KUHP pasal 284 berbunyi: “Barangsiapa melakukan persetubuhan dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya, maka diancam dengan sanksi pidana.” Jadi perzinaan hanya terjadi jika kedua pelakunya sudah menikah (berstatus suami atau isteri). Maka, pasal ini tidak melarang hubungan seksual yang dilakukan secara suka sama suka oleh kedua orang yang belum menikah (fornication), tidak melarang homoseksual, dan tidak melarang hubungan seksual dengan binatang (bestiality).

Kontradiksi ini lahir karena akal manusia dianggap hebat dan super sehingga berani menerapkan berbagai sistem hukum secara campur aduk, berasaskan sekularisme (menjauhkan agama dari kehidupan). Ini jelas bertentangan dengan fitrah manusia yang seharusnya mengakui kelemahannya, sehingga akhirnya mau berhukum kepada aturan dari Allah semata. Oleh karena itu, menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan dari manusia adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, sekularisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia.

Sekularisme dan Khilafah

Sekularisme jika diyakini dan diterapkan, akan dapat menghancurkan konsep Islam yang agung, yaitu Khilafah. Jadi sekularisme bertentangan dengan Khilafah. Sebab sekularisme melahirkan pemisahan agama dari politik dan negara. Ujungnya, agama hanya mengatur secuil aspek kehidupan, dan tidak mengatur segala aspek kehidupan. Padahal Islam mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Sabda Rasulullah SAW:
“...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].
 
Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah.
Abdurrahman Al Jaziri telah berkata:
“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)...”

Maka, sekularisme jelas bertentangan dengan Khilafah. Siapa saja yang menganut sekularisme, pasti akan bersemangat untuk menghancurkan Khilafah. Jika sekularisme ini dianut oleh orang Islam, maka berarti dia telah memakai cara pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang.

Padahal, Rasulullah SAW sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda Rasulullah :
[alaa innal kitaab was sulthoona sayaftariqooni falaa tufaariqul kitaaba]
“Ingatlah! Sesungguhnya Al Kitab (al-Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah. Maka (jika hal itu terjadi) janganlah kalian berpisah dengan al Qur`an!” [HR. Ath Thabrani].
Sabda Rasulullah SAW:

[latanqudhonna ‘urol islami ‘urwatan ‘urwatan fakullamaa intaqadhat ‘urwatun tasyabbatsan naasu billatii taliihaa fa-awwaluhunna naqdhon al hukmu wa aakhiruhunna ash sholaatu]
 
“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiapkali satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat.” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim].

Kesimpulan

Dari bahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sekularisme yang terjadi di barat di abad pertengahan, yang mengesampingkan urusan pemerintahan dari agama sangat sukses pada waktu itu karena memang sesuai dengan ajaran Kristen itu sendiri. Namun apabila sekulerisme di terapkan dalam islam sangat tidak sesuai karena bertentangan dengan fitrah manusia selain sebagai makhluk beragama juga makhluk social yang juga mempunyai tugas kekhalifahan yang tidak mungkin memisahkan keduanya.

Selain alasan di atas, islam tidak mengenal sekularisme karena islam tidak mengenal pemisahan antara agama dengan negara. Jadi idealnya antara urusan negara dengan agama harus sinambung. Manusia dalam merumuskan kebijakan tidak mungkin terlepas dari kaidah agama yang telah mengatur kita.

INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (INISNU)
Tahun Akademik 2009-2010
Jl. Taman Siswa No. 09 Pekeng Tahunan Jepara


0 komentar to "Sumber Hukum Islam"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Blog Archive

Web hosting for webmasters