Hukum Acara Peradilan Agama

by : Aryo Ardhi, Fak. Syari'ah, Semester IV

a.    Pengertian Hukum Acara Perdata

Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus-menerus sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Agar dalam mempertahankan hak masing masing pihak itu tidak melampaui batas batas dan norma yang ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Menurut Darwan Sprinst, SH.,  gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan Pengadilan.  Sementara itu      Sudikno Mertokusumo, SH. mengemukakan bahwa gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrighting). Dengan demikian dapat diketahui bahwa gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Dalam hal gugatan kepada Pengadilan selalu ada pihak Penggugat atau para Penggugat, Tergugat atau para Tergugat dan turut Terugat atau para turut Tergugat. Cara menyelesaikan perselisihan lewat Pengadilan tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Procesrecht, Civil Law of Procedure).

Dalam rangka menegakkan hukum perdata materiil, fungsi Hukum Acara Perdata sangat menentukan. Hukum Perdata Materiil tidak dapat dipaksakan berlakunya tanpa adanya dukungan dari Hukum Acara Perdata ini. Wirjono Projodikuro, SH. mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan peraturan Hukum Perdata.  Sedangkan Sudikno Mertokusumo, SH. mengemukakan bahwa objek daripada ilmu Hukum Acara Perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan Hukum Perdata Materiil dengan perantaraan kekuasaan negara yang terjadi di Pengadilan.

Melihat batasan batasan yang dikemukakan oleh pakar hukum sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa Hukum Acara Perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan, bagaimana pihak Tergugat mempertahankan diri dari gugatan Penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh Penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Diharapkan dengan adanya Hukum Acara Perdata ini, para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan, tidak main hakim sendiri. Dalam Hukum Acara Perdata ini diatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang berperkara secara seimbang di depan sidang pengadilan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hukum Acara Perdata termasuk dalam ruang lingkup hukum privat (private law) disamping Hukum Perdata Materiil. Hukum Acara Perdata disebut Hukum Perdata Formil. Karena ia mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui Pengadilan sesuai dengan norma norma yang telah ditentukan secara formal.

Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyatakan “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
b.    Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
1)    Asas Personalitas Keislaman
Arti asas personalitas keislaman adalah yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk agama Islam. Penga¬nut agama lain di luar Islam atau yang non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.

Asas personalitas keislaman diatur dalam Pasal 2 Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga dan Pasal 49 ayat 1. Dari penggarisan yang dirumus¬kan dalam ketiga ketentuan tersebut, dapat dilihat asas personalitas keislaman sekaligus dikaitkan berbarengan dengan perkara perdata “bidang tertentu” sepanjang mengenai sengketa perkara yang menjadi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama. Kalau begitu ketundukan personalitas muslim kepada lingkungan Peradilan Agama, “bukan” ketundukan yang bersifat umum meliputi semua bidang hukum perdata, tetapi ketundukan personalitas muslim kepadanya, hanya bersifat “khusus” sepanjang bidang hukum perdata “tertentu”.

Pasal 2 berbunyi : “Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu.......”. Kemudian Penjelasan Umum, dimaksud sekaligus mengulang dan menerangkan apa¬-apa yang termasuk dalam bidang perdata tertentu tersebut, yang berbunyi : “Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk meme¬riksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perkara antara orang orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah berdasarkan hukum Islam. Dan apa yang tercantum dalam Penjelasan Umum tersebut sama dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1).

Dalam asas personalitas keislaman yang melekat pada UU No.7 Tahun 1989, dijumpai beberapa penegasan yang melekat membarengi asas dimaksud :
a)    Pihak pihak yang bersengketa harus sama sama pemeluk agama Islam.
b)    Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah.
c)    Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berda¬sarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.

Asas personalitas keislaman harus meliputi para pihak yang bersengketa. Kedua belah pihak harus sama sama beragama Islam. Jika salah satu pihak tidak beragama Islam, sengketanya tidak dapat ditundukkan kepada lingkungan Peradilan Agama. Dalam hal yang seperti itu sengketa tunduk kepada kewenangan Peradilan Umum. Begitu pula landasan hubungan hukumnya, harus berlandaskan hubung¬an hukum Islam. Jika hubungan hukum yang terjadi bukan berdasar hukum Islam, sengketanya tidak tunduk menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Misalnya, hubungan hukum ikatan perkawinan antara suami istri adalah hukum Barat. Sekalipun suami istri beragama Islam, asas personalitas keislaman mereka ditiadakan oleh landasan hubungan hukum yang menda¬sari perkawinan.

Oleh karena itu sengketa perkawinan yang terjadi antara mereka tidak tunduk menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tapi jatuh menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Isi pokoknya menegaskan bahwa yang dipergunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku waktu pernikahan dilangsungkan. Berar¬ti seseorang yang melangsungkan perkawinan secara Islam, perkaranya tetap wewenang Pengadilan Agama sekaligus salah satu pihak tidak beragama Islam lagi. 

Letak patokan asas personalitas keislaman berdasar patokan “'umum” dan patokan    “saat terjadi” hubungan hukum. Maksud patokan menentukan keislaman seseorang didasarkan pada faktor formil tanpa mempersoalkan kualitas keislaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinva sudah melekat asas personalitass keislaman. Faktanya dan dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan, SIM dan surat keterangan  lain. Bisa juga dari kesaksian. Sedang mengenai patokan asas personalitass keislaman berdasar “saat terjadi” hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat :
Pertama    :    pada saat terjadi hubungan hukum kedua pihak sama sama beragama Islam,
Kedua    :    hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam.

Apabila kedua syarat tersebut terpenuhi, pada kedua belah pihak telah melekat asas personalitass keislaman, dan sengketa yang terjadi diantara mereka tunduk menjadi kewenangan Peradilan Agama. Tidak menjadi soal apakah dibelakang hari atau pada saat terjadi sengketa, salah seorang dianta¬ra mercka telah bertukar agama dari Islam ke agama lain.

2)    Asas Kebebasan Hakim

Asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU No. 7 Tahun 1989, merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman. UU No. 7 Tahun 1989 merupakan salah satu upaya melaksanakan UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU Nomor 04 Tahun 2004. Lebih lanjut, dalam Penjelasan Umum angka 1 alinea kelima ditegaskan : “Dengan demikian Undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan dan hukum acara Pengadilan dalam lingkungan Pera¬dilan Agama ini merupakan pelaksanaan ketentuan ketentuan dan asas yang tercantum dalam Undang undang tentang Ketentuan ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman”. Dari bunyi rumusan penjelasan dimaksud, UU No. 7 Tahun 1989 merupakan pelaksanaan ketentuan ketentuan dan yang tercantum dalam UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU Nomor 04 Tahun 2004.

    Asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan asas yang paling sentral dalam kehidupan peradilan. Dalam UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU Nomor 04 Tahun 2004 dicantumkan dalam Bab 1, ketentuan umum sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 yang berbunyi : “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Memperhatikan bunyi Pasal tersebut dapat dijabarkan beberapa sendi filosofis dalam kegiatan upaya penegakan hukum yang di¬perankan oleh badan badan peradilan :
a)    Kekuasaan kehakiman (judicial power) dalam melaksanakan fungsi pera¬dilan adalah alat kekuasaan negara yang lazim disebut kekuasaan yudikatif.
b)    Tujuan memberi kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan fungsi peradilan :
-    Agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan.
-    Agar benar benar dapat diselenggarakan kehidupan bernegara ber¬dasar hukum, karena memang negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum (Recht Staat).

Tujuan utama amanat kemerdekaan yang diberikan kepada badan peradilan, agar para pejabat fungsional yakni para hakim yang memeriksa dan memutus perkara benar benar dapat menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Hanya peradilan yang bebas dan merdeka yang dapat diperkirakan menegakkan hukum dan keadilan yang hakiki. Hanya kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka yang dapat menjamin tegaknya “'negara hukum”. Hakim dan kekuasaan kehakiman yang tidak merdeka, diperkirakan tidak dapat berfungsi mene¬gakkan hukum, dan keadilan hakiki. Oleh karena itu sudah selayaknya para Hakim yang bertugas di lingkungan Peradilan Agama harus memahami dengan sadar pene¬gasan Penjelasan Umum UU No. 14 Tahun 1970 angka 4 alinea kedua : “Maka yang dituju dengan “kekuasaan kehakiman” dalam pasal 24 Undang undang Dasar 1945 ialah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan ber¬dasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indone¬sia”.

Tujuan memberi amanah kemerdekaan kepada kekuasaan kehakiman, tiada lain agar para Hakim yang berfungsi melaksanakan peradilan dapat benar-benar menegakkan hukum dan keadilan demi terjaminnya kelanjutan hidup “negara hukum” Republik Indonesia.
Pedoman yang dapat dirujuk untuk meluruskan pengertian dan pemahaman kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang tepat ialah rumusan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 4 Tahun 2004. Agar lebih jelas akan diutarakan sepenuhnya bunyi penjelasan tersebut :

“Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial, kecuali dalam hal¬-hal yang diizinkan Undang undang. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judicial tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas daripada Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkin hukum dan mencari dasar dasar serta asas asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia”.

Jangkauan kebebasan Hakim dalam melaksanakzn fungsi kemerdekaan kekuasaan kehakiman bukan kebebasan yang merajalela dan membabibuta tetapi terbatas dan bermakna :

a)    Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya

Peradilan dan Hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakim¬an tidak boleh dicampuri oleh badan kekuasaan pemerintahan yang lain. Pihak eksekutif, legislatif atau badan kekuasaan lainnya yang manapun, tidak boleh mencampuri jalannya peradilan. Dengan demikian kekua¬saan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan benar benar murni berdiri sendiri. Tidak berada dibawah subordinasi atau dibawah pengaruh dan kendali badan eksekutif, legislatif atau badan kekuasaan lainnya.

b)    Bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial

Maksudnya, Hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan tidak boleh dipaksa harus mengambil putusan yang dikehendaki pihak yang memaksa. Paksaan yang datang dari siapapun dan dalam bentuk yang bagaimanapun tidak dibenarkan. Begitu pula pengarahan dan rekomendasi yang datang dari luar lingkungan kekuasaan peradilan tidak dibenarkan. Hakim harus memiliki keberanian nurani yang tangguh melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan berdasar the rule of law.

c)    Kebebasan melaksanakan wewenang judicial (peradilan)

Sifat kebebasannya tidak mutlak, tapi kebebasan Hakim terbatas :
-    Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan ka¬sus perkara yang sedang diperiksanya.
-    Menafsirkan hukum yang tepat melalui cara cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan (penafsiran sistimatik, sosiologis, bahasa, analogis dan a contrario).
-    Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (rechts vinding), dasar dasar dan asas asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis (hukum adat), yurisprudensi maupun melalui pendekatan “realisme” yakni mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama, kepatutan dan kelaziman.

Hakim “tidak bebas” untuk menerapkan peraturan dan perundang undangan yang tidak cocok dan tidak tepat terhadap kasus perkara yang sedang diperiksa. Menerapkan ketentuan peraturan dan perundang¬-undangan yang tidak tepat terhadap kasus perkara, merupakan kese¬wenang wenangan dan perkosaan terhadap penegakan hukum dan keadilan. Hakim juga “tidak bebas” mencipta peraturan sendiri untuk dijadikan da¬sar hukum memeriksa dan mengadili perkara yang sedang diperiksanya.

¬Kebebasan Hakim menafsirkan hukum harus berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa. Hukum yang hendak ditafsirkan harus bersumber dari ketentuan peraturan dan perundang undangan yang berlaku yang ada kaitannya dengan kasus perkara yang sedang diperiksa. Tidak dibenarkan menafsirkan hukum di luar ketentuan peraturan dan perundang undangan yang berlaku. Pendekatan cara penafsiran tidak bebas menurut kemauan Hakim sendiri. Kebebasan penafsiran yang dibenarkan harus melalui pendekatan disiplin yang diakui keabsahannya oleh teori dan praktek. Yang dalam doktrin hukum Islam pendekatan penafsiran seperti ini barangkali dapat disamakan dengan upaya kegiatan ijtihad dalam bentuk qiyas yang dapat diperluas kegiatannya dalam bentuk istihsan “apakah itu istikhsan dari qiyas jali kepada qiyas khafi atau dari dalil yang kully kepada hukum takhshish”. Bisa juga penafsiran melalui pendekatan maslahah mursalah atas alasan dalil yang sudah disepekati para Ulama bahwa kemaslahatan manusia sifatnya selalu aktual yang tidak pernah berakhir. Yang pokok asal penafsiran melalui pendekatan maslahah mursalah, sekurang kurangnya diperkirakan Hakim mengandung kemaslahatan yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nashs.

Kemudian mengenai kebebasan Hakim untuk mencari dan menemukan hukum, erat sekali hubungannya dengan asas yang melarang Hakim atau Pengadilan menolak memeriksa perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas. Asas ini ada juga tercantum dalam pasal 56 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989. Apabila kasus perkara yang diajukan tidak ada aturan perundang undangannya atau tidak jelas dasar hukum peraturannya, Hakim tak boleh menolak untuk memeriksa dan memutusnya. Meng¬hadapi kasus yang seperti ini Hakim bebas dalam arti berupaya melakukan kegiatan memberi dan menemukan dasar dasar dan asas~asas hukum melalui pendekatan yurisprudensi, doktrin ilmu hukum, nilai nilai kekuatan ekonomi, sosial, agama, moral, adat kebiasaan, kepatutan, kelaziman dan kemanusiaan. Dalam hukum Islam misalnya hal ini dibenarkan melalui pendekatan ijma’ dan urf.

3)    Asas Wajib Mendamaikan

Pengertian mendamaikan

Asas kewajiban Hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat sejalan dengan tuntutan dan tuntutan ajaran moral Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan islah (fa asliku baina akhwaikum).  Karena itu layak sekali para Hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban fungsi “mendamaikan”. Sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian. Dalam suatu putusan yang bagaimanapun adilnya, pasti harus ada pihak yang “dikalahkan” dan “dimenangkan”. Tidak mungkin kedua pihak sama¬-sama dimenangkan atau sama sama dikalahkan. Seadil adilnya putusan yang dijatuhkan Hakim, akan tetap dirasa tidak adil oleh pihak yang kalah. Bagaimanapun zalimnya putusan yang dijatuhkan, akan dianggap dan dirasa adil oleh pihak yang menang. Lain halnya dengan perdamaian, hasil per¬damaian yang tulus berdasar kesadaran bersama dari pihak yang bersengketa, terbebas dari kualifikasi “menang” dan “kalah”'. Mereka sama¬-sama menang dan sama sama kalah. Sehingga kedua belah pihak pulih dalam suasana rukun dan persaudaraan, tidak dibebani dendam kesumat yang berkepanjangan.

Peran Hakim mendamaikan pihak pihak yang berperkara terbatas sampai anjuran, nasihat, penjelasan dan memberi bantuan dalam perumusan sepanjang hal itu diminta kedua belah pihak. Hasil akhir prdamaian harus benar benar “hasil kesepakatan” kehendak bebas dari kedua belah pihak. Sebab perdamaian ditinjau dari sudut KUH Perdata (BW) maupun dari segi hukum Islam termasuk pada bidang “hukum perjanjian” yang menuntut syarat syarat seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yakni adanya “kesepakatan” berdasar kehendak bebas dari kedua belah pihak.

Dalam kesepakatan tersebut tidak boleh ada cacat yang mengandung kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) dalam bentuk segala bentuk baik yang bersifat fisik dan psikis atau peni¬puan (bedrog). Syarat kedua, kecakapan untuk melakukan tindakan hukum. Syarat ketiga mengenai hal tertentu dan syarat keempat, didasarkan atas sebab yang halal (geoorloofde oorzaak). Paling tidak hal ini harus dipahami dan disadari Hakim dalam melaksanakan fungsi mendamaikan. Jangan sam¬pai terjadi bentuk perdamaian, yang dihasilkan tindakan belah bambu yang berisi materi kehendak Hakim atau kehendak sepihak dari pihak yang kuat.

Tanpa mengurangi arti keluhuran perdamaian dalam segala bidang persengketaan, makna perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran tersendiri. Dengan dicapai perdamaian antara suami isteri dalam sengketa perceraian, bukan hanya keutuhan ikatan perkawinan saja dapat diselamatkan. Sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan pembinaan anak anak secara normal. Kerukunan antara keluarga kedua belah pihak dapat bertanjut. Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan rumah tangga. Suami isteri dapat terhindar dari gangguan pergaulan sosial kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-anak terhindar dari perasaan terasing dan rendah diri dalam pergaulan hidup. Memperhatikan itu semua, upaya mendamaikan sengketa perceraian, merupakan kegiatan yang terpuji dan lebih diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di bidang yang lain.

4)    Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam UU No.7 Tahun 1989 diatur pada Pasal 57 ayat 3. Pada dasarnya asas ini bermuara dari ketentuan Pasal 4 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970. Kemudian makna yang lebih luas dari asas ini, diutarakan dalam Penjelasan Umum dan penjelasan Pasal 4 ayat 2 itu sendiri.

Dalam Penjelasan Umum yang dicantumkan dalam angka 8 yang lengkapnya berbunyi :
“Ketentuan bahwa “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan” tetap harus dipegang teguh yang tercermin dalam Undang undang tentang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang memuat peraturan peraturan tentang pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih sederhana”.

Selanjutnya, maksud dan pengertian asas ini, lebih dipertegas lagi dalam Penjelasan Pasal 4 ayat 2 yang berbunyi :
“Peradilan harus memenuhi harapan dari pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan. Tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun tahun, bahkan kadang kadang harus dilanjutkan oleh para ahli waris percari keadilan. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan”.
Makna dan tujuan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 04 Tahun 2004 berlaku sepenuh¬nya dalam Undang-undang ini. Hal itu dapat dibaca dalam Penjelasan Umum angka 5 alinea kelima yang berbunyi :
“Prinsip prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970, antara lain sidang terbuka untuk umum., setiap keputusan dimulai dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan dan ketentuan ketentuan lain, dalam Undang undang ini lebih ditegaskan dan dicantumkan kembali”.
Penjelasan Umum yang terdapat pada angka 5 alinea kelima UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 04 Tahun 2004 menggambar¬kan perbandingan hukum antara yang terdapat pada HIR dan RBG pada satu pihak dengan hukum acara yang terdapat pada Reglement of de Straaf voordering (hukum acara pidana) dan Rechtvoordering (R.V. hukum acara perdata) yang dulu diperlakukan terhadap golongan Eropa dihadapan peme¬riksaan Raad Van Justitie.

Prosedur dan proses hukum acara perdata (RV) tersebut sangat berbelit belit dengan sistem “dag vaarding” atau “schriijtelijke procedur” dan sistem “procureur” (procureur stelling) atau “verplichte rechtbijstand” dengan berbagai bentuk putusan sela atau in¬terlocuter vonnis. Tanpa bantuan advokat atau pengacara, tidak mungkin seorang dapat membela dan mempertahankan hak dan kepentingannya. Se¬mua proses pemeriksaan mesti secara tertulis.

Lain halnya dengan hukum acara perdata yang diatur dalam HIR atau R.BG. Prosedur dan prosesnya sangat sederhana dengan sistim langsung secara lisan atau “mondelinge pro¬cedur” dan “onmiddlelijkeheid Van procedure” di persidangan. Tahap pemeriksaan pembuktian tidak memerlukan bentuk bentuk putusan sela. Kesederhanaari ini yang dipertahankan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Akan tetapi makna dan tujuan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan bukan bertujuan untuk menyuruh Hakim memeriksa dan memutus perkara perceraian dalam tempo satu jam atau se¬tengah jam. Yang dicita citakan ialah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan jangka waktu lama sampai bertahun tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri. Apa yang sudah memang seder¬hana, jangan sengaja dipersulit oleh Hakim ke arah proses pemeriksaan yang berbelit belit dan tersendat sendat. Jangan sampai jalannya pemeriksaan “mundur terus”, untuk sekian puluh kali atas berbagai alasan yang tidak sah menurut hukum.
Yang dituntut dari Hakim dalam menerapkan asas ini ialah sikap “moderasi”. Tidak cenderung secara ekstrim melakukan pemeriksaan yang tergopoh gopoh tak obahnya seperti mesin. Sehingga jalannya pemeriksaan sudah menanggalkan harkat dan derajat kemanusiaan. Tetapi jangan pula sengaja dilambat lambatkan. Lakukan pemeriksaan yang seksama dan wa¬jar, rasional dan objektif dengan cara memberi kesempatan yang berim¬bang dan sepatutnya kepada masing masing pihak yang berperkara.

Penerapan asas ini tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesederhanaan, kecepatan pemeriksaan, jangan dimanipulasi untuk membelokkan hukum, kebenaran dan keadilan. Semua harus “tepat” menurut hukum (due to law). Untuk apa proses pemeriksaan yang cepat, kalau hukum yang ditegakkan di dalamnya berisi kepalsuan dan perkosaan terhadap kebenaran dan ke¬adilan? Akan tetapi sebaliknya untuk apa kebenaran dan keadilan yang diperoleh dengan penuh kesengsaraan dan kepahitan dalam suatu penan¬tian yang tak kunjung tiba? Sedemikian rupa lamanya menunggu sampai berpuluh tahun dalam kebimbangan dan keresahan yang tak berujung pangkal. Terkadang lantaran lamanya suatu proses penyelesaian perkara, putusan akhir baru tiba setelah pihak yang berperkara meninggal dunia berpuluh tahun.

5)    Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum

Dalam UU No. 7 Tahun 1989, asas ini diatur dalam Pasal 59. Ter¬cantum dalam Bab IV tentang Hukum Acara, Bagian Pertama yang mengatur bagian umum. Rumusan kalimat dan kata katanya hampir serupa dengan ketentuan Pasal 17 UU No. 14 Tahun 1970. Hanya kalimatnya saja yang lebih panjang tapi maknanya tidak berbeda, berupa penegasan dimungkinkan sidang tertutup dalam hal jika Undang undang menentukan atau jika Hakim menganggap perlu berdasar alasan alasan penting. Dan alasan itu dicatat dalam berita acara.
Secara. harfiah, makna pemeriksaan persidangan terbuka untuk umum, berarti setiap pemeriksaan berlangsung di sidang pengadilan, siapa saja yang ingin berkunjung menghadiri, menyaksikan dan mendengar jalannya peme¬riksaan, tidak boleh dihalangi dan dilarang. Selain dari pihak pihak yang berperkara dan saksi, masyarakat umum tanpa kecuali boleh menghadiri pemeriksaan persidangan tanpa mempersoalkan apakah dia berkepentingan atau tidak. Pintu ruang sidang terbuka untuk siapa saja yang ingin melihat dan mendengar pemeriksaan. Bukan hanya pintu, jendela ruang sidang pun harus terbuka.

Untuk memenuhi syarat formil atas asas ini, sebelum Hakim mulai melakukan pemeriksaan, lebih dulu dia menyatakan dan mengumumkan : “persidangan terbuka untuk umum”. Kelalaian memenuhi syarat formil tersebut dapat dianggap melanggar tata tertib pemeriksaan. Sekalipun ada yang berpendapat kelalaian atas syarat formil ini tidak ber¬akibat pemeriksaan batal, hal itu tidak mengurangi artinya sebagai salah satu tata tertib yang melekat pada pemeriksaan persidangan.

Tujuan utama yang terkandung dalam asas persidangan terbuka, agar jangan sampai terjadi pemeriksaan gelap dan bisik-bisik. Agar jalannya sidang pemeriksaan berlangsung dalam suasana “fair trail” (pemeriksaan sidang yang fair), tidak memihak dan tidak berat sebelah, Undang-undang merasa perlu mempersilakan masyarakat untuk menyaksikannya. Dalam pelaksanaan menegakkan “fair trail”-lah salah satu tujuan utama asas persidangan terbuka untuk umum. Segi lain, asas ini juga berdampak edukasi dan prepensi. Pemeriksaan sidang yang terbuka untuk umum dapat menjadi bahan informasi bagi anggota masyarakat tentang suatu kasus peristiwa.

Akan tetapi sekalipun asas “openbaar” terbuka untuk setiap anggota masyarakat, Hakim perlu diperingatkan tentang pembatasan berlakunya terhadap anak-anak dibawah umur. Larangan terhadap anak-anak mengikuti jalannya pemeriksaan sidang adalah merupakan ketertiban umum atau “openbaar orde”.

Penerapan asas persidangan terbuka untuk umum dikecualikan dalam pemeriksaan perkara perceraian. Mengenai pengecualian ini, Pasal 59 ayat 1 sendiri sudah membuka kemungkinan untuk itu dalam rumusan : “Kecuali apabila Undang-undang menentukan lain”. Hal ini sesuai dengan doktrin hukum yang mengajarkan “lex specialis drogat lex generalis”. Ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum. Keadaan inilah yang diatur dalam Pasal 80 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975. Pasal-pasal ini menyampingkan ketentuan asas umum yang diatur Pasal 59 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 17 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 04 Tahun 2004 yang berbunyi : “Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup”.

Menurut penilaian dan pertimbangan pembuat Undang undang, kepentingan kerahasiaan aib ru¬mah tangga dan pribadi suami isteri, jauh lebih besar nilai ekuivalensinya, dibanding dengan tujuan yang terkandung dalam asas persidangan terbuka untuk umum. Dengan demikian penyelesaian konflik antara cita cita yang dituju asas ini diselesaikan Undang undang dengan jalan mengutamakan ter¬jaminnya kerahasiaan aib rumah tangga dan pribadi suami isteri. Barangka¬li mereka berpendapat, adalah bertentangan dengan moral dan kepatutan untuk menyebar luas rahasia aib dan kebobrokan suami isteri melalui sidang pengadilan. Satu satunya cara untuk menutup kebocoran, melalui “sidang tertutup”.

Pelanggaran atas Pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 80 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1989, tidak bisa ditolerir. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan pemeriksaan batal demi hukum. Sebab nilai yang terkandung dalam ketentuan itu menyangkut asas ketertiban umum atau orde publik, oleh karena itu dia mutlak bersi¬fat “imperatif”. Satu satunya cara yang dapat dibenarkan hukum untuk pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, hanya menjang-kau selama proses pemeriksaan saja. Penerapannya, hanya meliputi proses pemeriksaan jawab menjawab, pemeriksaan pembuktian jangkauan keten¬tuan pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, tidak meliputi pengucapan putusan. Apabila sudah tiba saat proses pemeriksaan sidang pada tahap pengucapan putusan, terhenti dan berakhir sidang tertutup, dan kembali ditegakkan asas persidangan terbuka. Begitu penggarisan yang tercantum dalam Pasal 81 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 34 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi : “Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.

Ketentuan ini bersifat “imperatip” dan bernilai sebagai aturan keter¬tiban umum yang tak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun. Pelang¬garan atas ketentuan ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal ini dapat disimpulkan secara analogis dari ketentuan pasal 59 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo pasal 17 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970 yang menegaskan : “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 (Sidang pemeriksaan ter¬buka untuk umum) mengakibitkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya batal menurut hukum”.

6)    Asas Legalistis

Pengertian makna legalistis pada prinsipnya sama dengan pengertian rule of law. Pengadilan mengadili menurut hukum sama maknanya de¬ngan Pengadilan mengadili berdasar rule of law. Jika asas legalistis dikaitkan dengan kedudukan negara Republik Indonesia adalah negara hukum, sudah semestinya Pengadilan yang berfungsi dan berwenang mene¬gakkan hukum melalui badan peradilan harus berpijak dan berlandaskan hukum. Dengan demikian baru terjadi suatu kesatuan tindakan dan arah law enforcement bertindak menurut rule of law. Ini berarti Hakim yang berfungsi dan berwenang menggerakkan    roda peradilan melalui badan pengadilan, tidak boleh bertindak di luar hukum. Semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan mesti menurut hukum. Mulai dari tindakan pemanggilan pihak yang berperkara, penyitaan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus menurut dan berdasar hukum. Tidak boleh menurut selera dan kemauan Hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

Hukum berada di atas segala galanya, yang memegang “supremasi” dan “dominasi”. Hakim dan siapapun, semua takluk di bawah supremasi dan dominasi hukum. Hakim dilarang men¬jatuhkan putusan yang bertentangan dengan hukum. Pihak yang berperka¬ra tidak dibenarkan meminta suatu putusan yang tidak dibenarkan hukum. Demikian kira kira gambaran idiil makna asas legalistis dan sudut pendekat¬an teoritis. Tetapi barangkali apa yang dicita citakan asas ini, masih jauh dari kenyataan. Dalam kenyataan konkreto, masih banyak terjadi penyim¬pangan dan pelanggaran hukum oleh mereka yang berpredikat sebagai ab¬di penegak hukum.

Hukum menurut pandangan syariah berarti “sumber segala kehidupan” yang berkena¬an dengan nilai hukum, moral dan etika. Dan hukum itu menurut pandangan syariah seperti yang dilukiskan Zianuddin Sardar ialah ke¬tentuan ketentuan sikap yang tidak berobah dan juga sarana sarana pokok untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Disamping itu menurut pan¬dangan syariah, hukum bukan hasil ciptaan manusia. Hukum adalah anu¬gerah Allah yang datang dari pada-Nya sebelum suatu masyarakat ada. Sedang dari sudut pandangan oksidental, hukum lahir dari masyarakat dan dibuat masyarakat untuk kepentingan ketertiban masyarakat secara tem¬poral.

Semua nilai normatif yang berkembang dari komponen sumber nilai tersebut merupakan rule of law dari suatu masyarakat bangsa. Kalau begitu hukum yang hendak ditegakkan para Hakim melalui fungsi dan kewenang¬an peradilan ialah semua nilai normatif yang terdapat dalam peraturan dan perundang undangan serta yang bersumber dari nilai nilai kekuatan agama, moral, ekonomi, kultur, kebiasaan (adat) dan kepatutan (reasonable).
Dengan pandangan moderasi ini, pandangan dan pengertian kita mengenai hukum tidak terjebak secara ekstrim ke arah pendekatan positivisme. Dengan demikian pandangan yang seolah olah hanya melihat hukum dari sudut peraturan dan perundang undarigan saja kita perluas jangkauannya sampai mencakup semua nilai yang memiliki kekuatan nilai normatif yang tumbuh dalam kehidupan suatu masyarakat. Dan sekaligus dibedakan istilah dan pengertian “legal” (peraturan dan perundang undangan) dengan “law” (hukum). Serta menempatkan legal (peraturan dan perundang) sebagai salah satu komponen sumber nilai hukum (law) bergandengan dengan komponen sumber nilai hukum yang lain (agama, moral, ekonomi, budaya, adat dan kepatutan).

Menurut analisa fiqih yang dikembangkan oleh para mujtahid, yang dapat dianggap bernilai syariah, tidak semata mata nilai yang terumus dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi juga semua nilai normatif yang tumbuh dari kekuat¬an ijma dan qiyas. Bahkan lebih luas dari itu, termasuk semua kekuatan nilai yang mengandung istihsan (penyimpangan dari nilai lama melalui penalaran hukum ke arah nilai baru yang lebih relevan dan aktual). Kemu¬dian diperluas lagi sehingga makna syariah termasuk nilai nilai yang mengan¬dung istislah. Bahkan istislah itu sendiri dikembangkan ke arah bentuk yang lebih umum “maslahah mursalah” yang berarti semua nilai yang memiliki potensi mendatangkan kebaikan (nashara fi masalihinnas).

Dalam kebaikan yang didatangkan nilai tersebut mengandung unsur kebebasan, keamanan (ketentraman) dan kebersamaan, maka nilai yang seperti itu dari sudut pandangan fiqih dapat menjadi nilai normatif syariah.  Demikian juga mengenai nilai nilai “urf”, dapat menjadi nilai normatif syariah apabila nilai nilai adat kebiasaan telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat dan kandungan nilainya tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah.

Pengertian hukum yang diutarakan di atas sangat penting bagi para Hakim dalam melaksanakan fungsi kewenangan peradilan, terutama jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 56 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 14 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970. Pasal ini melarang Pengadilan untuk menolak memeriksa dan memutus perkara yang diajukan atas dalih hukum yang mengatur tidak ada atau kurang jelas. Ketentuan ini mewajibkan Hakim mesti memeriksa dan memutus perkara berdasar hukum dengan beban kewajiban mencari dan menemukan hukum (rechtsvinding) yang tepat untuk menyelesaikannya. Sekiranya kasus perkara yang diajukan tidak diketemukan aturan hukumnya dalam peraturan atau perundang-undangan, Hakim beralih mencari dari sumber hukum yang lain. Boleh dari nilai nilai normatif, agama, moral, ekonomi, budaya, adat dan kepatut¬an. Atau dari nilai normatif yurisprudensi. Mungkin juga bisa diketemukan dalam dasar dasar dan asas asas doktrin hukum atau dari nilai nilai nor¬matif globalisme. Hakim dapat menjatuhkan putusan berdasar nilai nilai tersebut, karena semua nilai nilai dimaksud masih dalam rangkaian jalinan rule of law. Sekiranya Hakim telah berusaha sungguh sungguh mencari hukum dari semua sumber, dan ternyata tidak ada diketemukan hukum¬nya, pada keadaan yang seperti itu, barulah Hakim diperkenankan untuk menjatuhkan putusan yang menolak gugatan atau menyatakan gugat tidak dapat diterima. Jadi dalam mencari dan menemukan hukum dalam rangka menegakkan rule of law, Hakim tidak boleh hanya terjebak melalui pen¬dekatan peraturan dan perundang undangan saja.

7)    Makna Asas Equality

Pengertian asas equality berarti persamaan hak. Jika asas equality dikaitkan dengan fungsi peradilan, berarti setiap orang yang datang berha¬dapan di sidang Pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya. Dengan kata lain sama hak dan kedudukan di hadapan hukum. Lawan dari asas per¬samaan hak dan kedudukan di depan Pengadilan atau di depan hukum ialah “diskriminasi”. Membedakan hak dan kedudukan orang di depan sidang Pengadilan.

Pembedaan atau diskriminasi bisa berbentuk normatif dan kategoris. Apabila terjadi praktek yang seperti itu, bentuknya bisa berupa “diskriminasi normatif” atau “diskriminasi kategoris”. Wujud dari diskriminasi normatif berupa tindakan yang membedakan aturan hukum yang berlaku terhadap pihak pihak yang berperkara.

Contoh sederhana, kepada salah satu pihak diberi kesempatan luas untuk mengajukan upaya pembuktian. Sebaliknya, kepada pihak yang lain haknya untuk mengajukan upaya pembuktian dibatasi atau dihalang halangi. Tindakan yang seperti itu, sudah mengandung diskriminasi normatif. Seolah-olah Hakim mempraktekkan dua aturan hukum yang saling berbeda dalam peristiwa dan upaya yang sama. Contoh lain, kepada pihak Penggugat Hakim memberi bantuan yang cukup sesuai dengan ketentuan Pasal 58 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 5 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 04 Tahun 2004. Tetapi kepada pihak Tergugat Hakim menolak memberi bantuan yang benar benar sangat dibutuhkan. Misalnya, ada salah seorang saksi pihak Penggugat yang tidak mau hadir dengan sukarela, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 121 ayat 1 HIR atau Pasal 145 ayat 1 R.Bg. Lantas untuk itu Penggugat meminta kepada Hakim agar saksi tersebut dipanggil secara paksa melalui Pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 139 ayat 1 HIR atau Pasal 165 R.Bg. Permintaan itu dikabulkan Hakim. Akan tetapi permintaan yang sama yang datang dari pihak Tergugat, ditolak oleh Hakim. Dalam kasus ini, Hakim sudah melakukan praktek peradilan diskriminasi normatif terhadap pihak pihak yang berperkara.

Tidak jauh berbeda dengan diskriminisi normatif ialah diskriminasi kategoris, yakni berupa tindakan yang membeda bedakan perlakuan pelayanan berdasar status sosial, ras, agama, suku, jenis kelamin dan budaya. Terhadap orang kaya, diberikan perlakuan dan pelayanan berlebihan. Terhadap yang miskin dihina dan dihardik. Jika yang menghadap wanita cantik diperlakukan sebagai ratu. Sebaliknya jika yang menghadap kakek peyot tidak digubris. Tindakan dan perlakuan tersebut memperlihatkan corak diskriminasi katagoris dan bertentangan dengan asas equality, yang dampaknya sekaligus bertentangan dengan tujuan penegakan hukum dan keadilan.

Tindakan dan perlakuan yang dapat terhindar dari tindakan     diskriminatif dalam praktek peradilan, mengacu dan berpedoman pada beberapa patokan. Diantaranya terdapat tiga patokan yang paling fundamentum :
a)    Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”.
b)    Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the law.
c)    Mendapat hak perlakuan yang sama dibawah hukum atau “equal justice under the law”.
8)    Asas Aktif Memberi Bantuan
Dalam proses pemeriksaan perkara di sidang pengadilan Hakim bertin¬dak memimpin jalannya persidangan. Artinya, Hakim yang mengatur dan mengarah tata tertib pemeriksaan. Juga Hakim yang berwenang menen¬tukan hukum yang diterapkan. Serta dia yang berwenang memutus perkara yang disengketakan.

Dalam kedudukannya sebagai pemimpin sidang, terdapat dua aliran. Aliran pertama, meletakkan kepemimpinan Hakim dalam kedudukan yang “pasif”. Aliran ini dianut oleh Reglement of de Rechtsvordering (RV), yang dulu berlaku sebagai hukum acara perdata bagi golongan Eropa di depan Raad Van Justitie. Menurut prinsip yang diatur dalam Reglement of de Rechts Vordering (RV), kedudukan Hakim memim¬pin sidang hanya bersifat “mengawasi”. Kedudukannya “pasif”, hanya sekedar mengawasi jalannya proses, agar para pihak yang berperkara ber¬tindak sesuai dengan tata tertib beracara yang ditentukan. Menjaga dan mengawasi agar para pihak tidak menyimpang dari garis yang ditentukan. Hanya itu saja fungsi dan kedudukannya, menjaga dan mengawasi tata ter¬tib, seolah olah sebagai penonton di luar arena. Hakim tidak ikut mencampuri tindakan para pihak selama tidak ada pelanggaran tata tertib beracara. Kedudukan pasif, sesuai dan sejalan dengan sistem yang dianut Reglement of de Rechts Vordering (RV) yang menggariskan sistem “daagvaarding” yang menetapkan semua tingkat proses dilakukan secara tertulis (schriftelijke procedure) serta procureur stelling yakni para pihak wajib dibantu seorang pengacara dalam berproses atau “verplickte rechts bi¬jstand”.

Aliran kedua, menempatkan kedudukan Hakim sebagai pimpinan sidang yang “aktif”. Aliran ini dianut HIR dan RBG sebagai hukum acara perdata yang berlaku di persidangan Pengadilan Negeri (dulu Landraad, diperlakukan terhadap golongan penduduk bumi putra, tapi sekarang diperlakukan untuk semua golongan). Sifat kedudukan Hakim yang aktif sesuai dengan sistem yang dianut HIR dan R.Bg, antara lain :
a)    Pemeriksaan persidangan secara langsung atau “onmiddellijkhed van procedure”.
b)    Proses beracara secara lisan atau “mondelinge procedure”.

Hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBG sebagai hukum acara yang diperlakukan di lingkungan Peradilan Umum, dan dengan kekuatan ketentuan Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan resmi berlaku untuk lingkungan Peradilan Agama, menganut sistem pemeriksaan langsung dengan lisan serta tidak wajib para pihak dibantu atau didampingi penasehat hukum (pengacara). Ber¬dasar sistem tersebut, HIR dan RBG menempatkan kedudukan Hakim memimpin pemeriksaan dalam posisi yang aktif. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 119 HIR atau Pasal 143 R.BG. Rumusan Pasal pasal ini, sama dengan rumusan Pasal 58 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 5 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970 berbunyi :
“Peradilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.

1.    Proses Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Agama

Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata, setelah Hakim terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa, maka tahap-tahap pemeriksaan tersebut ialah :
1)    Pembacaan gugatan
2)    Jawaban Tergugat
3)    Replik Penggugat
4)    Duplik Tergugat
5)    Pembuktian
6)    Kesimpulan
7)    Putusan Hakim.

BAGAN TAHAP-TAHAP PEMERIKSAAN PERKARA

Penjelasan Pemeriksaan Perkara

I.    Pembacaan Gugatan

Pada tahap pembacaan gugatan ini terdapat 3 kemungkinan dari Penggugat/Pemohon :
1)    Mencabut gugatan
2)    Mengubah gugatan
3)    Mempertahankan gugatan.

II.    Jawaban Tergugat

Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan dari pihak Tergugat, yaitu :
1)    Eksepsi/tangkisan
2)    Mengaku bulat bulat
3)    Mungkir mutlak
4)    Mengaku dengan klausula
5)    Referte
6)    Rekonpensi (gugat balik).

III.    Replik (dari Penggugat)

Dalam tahap ini Penggugat mungkin mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya atau mungkin Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/bantahan Tergugat.

IV.    Duplik Tergugat

Setelah menyampaikan repliknya, kemudian Tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi pula. Dalam tahap ini, mungkin Tergugat bersikap seperti Penggugat dalam replik tersebut.

V.    Pembuktian

Pada tahap ini, baik Penggugat maupun Tergugat diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti bukti, baik berupa saksi saksi maupun alat bukti lainnya secara bergantian yang diatur oleh Hakim.
Macam macam alat bukti dalam perkara perdata, yaitu :
1)    Alat bukti surat
2)    Alat bukti saksi
3)    Alat bukti persangkaan
4)    Alat bukti pengakuan
5)    Alat bukti sumpah
6)    Alat bukti pemeriksaan setempat
7)    Alat bukti saksi ahli
8)    Alat bukti pembukuan
9)    Alat bukti pengetahuan Hakim.

Macam-macam kekuatan alat bukti :
1)    Bukti mengikat dan menentukan, artinya :
a)    Meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi Hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti tersebut tanpa membutuhkan alat bukti lain.
b)    Alat bukti ini tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. Contohnya :
-    Sumpah decisoir
-    Sumpah supletoir
-    Pengakuan

2)    Bukti sempurna, artinya :
a)    Meskipun hanya ada satu alat bukti telah cukup bagi Hakim untuk perkara berdasarkan alat bukti itu dan tidak memerlukan adanya alat bukti lain.
b)    Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.
Contohnya :
-    Akra otentik (bukti surat)
-    Pasal 1394 KUHP (Persangkaan)
........... 3 kwintansi pembayaran 3 bulan berturut-turut, maka angsuran yang sebelumnya harus dianggap telah lunas.
3)    Bukti bebas, artinya :
a)    Hakim bebas menilai sesuai pertimbangannya yang logis dan Hakim tidak terikat pada alat bukti tersebut.
b)    Hakim dapat mengesampingkan alat bukti ini dengan pertimbangan yang logis.
c)    Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.
Contohnya :
-    Saksi yang disumpah
-    Saksi ahli
-    Pengakuan di luar sidang
4)    Bukti permulaan, artinya:
a)    Meskipun alat bukti ini sah dan dapat dipercaya, tetapi belum mencukupi syarat formil sebagai alat bukti yang cukup.
b)    Bukti ini masih harus ditambah dengan alat bukti yang lain agar menjadi sempurna.
c)    Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan dan Hakim tidak terikat dengan alat bukti ini.
Contohnya:
-    Akta dibawah tangan yang disangkal tanda tangan dan isinya oleh yang bersangkutan
-    Saksi yang hanya seorang.
5)    Bukan bukti, artinya :
a)    Meskipun nampaknya mmemberikan keterangan yang mendukung kebenaran suatu peristiwa, tetapi tidak memenuhi syarat formal sebagai alat bukti syah.
b)    Ia tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
Contohnya :
-    Saksi yang tidak disumpah
-    Saksi yang belum berumur 15 tahun
-    Foto foto dan rekaman video
-    Kesaksian tidak langsung.

VI.    Kesimpulan para Pihak

Pada tahap ini, baik Penggugat maupun Tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung menurut pandangan masing-masing.

VII.    Putusan Hakim

Pada tahap ini, Hakim merumuskan duduk perkaranya dan pertmbangan hukum mengenai perkara tersebut disertai dengan alasan-alasan dan dasar-dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan Hakim mengenai perkara yang diperiksanya itu.

Putusan dilihat dari fungsinya dalam mengakhiri sengketa ada 2 macam :
1)    Putusan akhir (eind vonnis)
2)    Putusan sela (tussen vonnis).

2.    Upaya Perdamaian

1.    Upaya Perdamaian di dalam Islam

a)    Kewajiban Mengupayakan Perdamaian

Seorang Imam harus mendanialkan rakyatnya, menyatukan hati mereka dan memadukan semua kemampuan mereka. Orang yang mengupayakan kedamaian di antara umat manusia akan diberi pahala yang besar oleh Allah. “Tidak ada dosa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar benarnya. Perdaniaian itu lebih baik (bagi mereka)” (QS. An Nisa’ : 128). Meski ayat ini turun dengan latar belakang berbeda, tapi pesannya bersifat umum. Sedangkan bermusuhan adalah tercela dan dibenci di dalam Islam. Dalam ash-Shahihain diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Hindari prasangka, karena (ucapan yang berdasarkan) prasangka itu adalah ucapan paling dusta. Jangan suka menguping pembicaraan orang lain, jangan mencari cari keburukan orang lain, jangan bersaing dalam keduniaan, jangan saling mendengki, jangan saling memusuhi dan jangan saling membelakangi. Jadilah (kalian) hamba hamba Allah yang bersaudara”.
Dalam kitab yang sama juga diriwayatkan dari Anas ibn Malik, Rasulullah s.a.w. berkata : “Jangan saling bermusuhan, jangan saling mendengki, jangan saling membelakangi dan jadilah hamba hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu tidak boleh menjauhi saudara¬nya lebih dari tiga hari”.
Dalam kitab itu pula diriwayatkan dari Abu Ayyub al Anshari, Rasulullah berkata, “Seorang muslim tidak boleh menjauhkan saudaranya lebih dari tiga malam; mereka bertemu, yang satu mema¬lingkan muka dan lain memalingkan mukanya. Orang terbaik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam”.

Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulu¬llah berkata : “Pintu pintu surga itu terbuka pada hari Senin dan Kamis. (Dari pintu pintu itu) semua hamba yang tidak menyekutukan Allah akan diampuni, kecuali orang yang sedang bermusuhan dengan saudaranya. Dan dikatakan, Tangguhkan pengampunan kedua orang ini, sampai mereka saling bertegur sapa. Tangguhkan pengampunan kedua orang ini, sampai mereka saling bertegur sapa. Tangguhkan pengampunan kedua orang ini, sampai mereka saling bertegur sapa”.

Banyak sekali ayat yang menganjurkan kepada perdamaian dan menjelaskan besarnya pahala orang orang yang mengusahakan perdamaian. “Dan jika ada dua golongan dari orang orang mukmin berperang, maka damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sestinggi.thnya Allah menyukai orang orangyang berlakii adil. Sesungguhnya orang orang mukmin adalah bersaudarai, karena itu damaikanlah kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujurat : 9 10).

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat baik, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. (QS. An Nisa’ : 114).

Nabi SAW. sangat giat dalam usaha kepada perdamaian. Dalam ash Shahih diriwayatkan dari Sahal ibn Sa’ad, “Ada beberapa orang dalam keluarga Amru ibn Auf yang sedang mengalami ketegangan. Segera Nabi berangkat bersama beberapa sahabatnya untuk menda¬maikan mereka. Ketika sudah masuk waktu shalat, Nabi belum juga kembali. Maka Bilal pun segera mengumandangkan azan untuk memulai shalat. Sampai azan selesai pun, Nabi belum kembali. Kemudian Bilal datang kepada Abu Bakar, dan Bilal berkata, ‘Nabi masih tertahan dan waktu shalat sudah tiba, apakah engkau akan berkenan mengimami shalat?’......”.

Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Sahal ibn Sa’ad, “Orang orang Quba’ tengah berperang dan saling melempar batu. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah, lalu beliau berkata, “Mari kita berangkat untuk mendamaikan mereka”.

b)    Keseriusan Para Sahabat dalam Menciptakan Perdamaian

Bukhari meriwayatkan dari Auf ibn Malik ibn Thufail, “Aisyah diberitahu bahwa ketika Aisyah menawarkan barang dagangan atau memberikan sesuatu kepada Abdullah ibn Zubair, Abdullah ibn Zubair berkata, ‘Sungguh Aisyah harus berhenti atau aku akan mencegahnya’. Aisyah meyakinkan, ‘Benarkah ia mengatakan seperti itu?' Orang orang menjawab, ‘Benar’. Kata Aisyah lagi, ‘Aku juga bernazar, dengan nama Allah, tidak akan berbicara kepada Ibnu Zubair selamanya’. Setelah sekian lama Aisyah menjaga jarak dengan Ibnu Zubair, Ibnu Zubair minta maaf kepadanya. Tapi kata Aisyah, ‘Tidak. Sungguh aku tidak akan pernah memaafkannya sampai kapanpun dan tidak akan pernah menarik nazarku’. Ibnu Zubair merasa tidak enak didiamkan begitu lama. Akhirnya ia menceritakan hal itu kepada Miswar ibn Makhramah dan Abdurrahman ibn Aswad ibn Abdu Yaghuts - keduanya dari Bani Zuhrah – ‘Dengan nama Allah, aku memohon dengan sangat kepada kalian berdua untuk mempertemukan aku dengan Aisyah. Seharusnya ia tidak boleh bernazar untuk memutuskan hubungan persaudaraan denganku’. Setelah itu, dengan pakaian lengkap, Miswar dan Abdur¬ Rahman membawa Ibnu Zubair menemui Aisyah. Mereka minta izin kepada Aisyah, ‘As Salamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Bolehkah kami masuk?’ Aisyah menjawab, ‘Masuklah’. Mereka bertanya, ‘Semua?’ Aisyah menjawab, ‘Ya, masuklah semua’. Aisyah tidak tahu bahwa salah satu dari mereka adalah Ibnu Zubair. Ketika mereka masuk, Ibnu Zubair langsung menyelinap ke balik tabir dan merangkul bibinya itu, memohon maaf kepadanya dan menangis. Miswar dan Abdurrahman juga memohon kepadanya, tapi Aisyah tidak mengajak Ibnu Zubair bicara, dia hanya menerimanya. Kedua orang itu menjelaskan, ‘Sesungguhnya Nabi pernah melarang untuk mendi¬amkan orang lain, karena seorang muslim tidak boleh mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam’. Setelah banyak yang mengingatkan, Aisyah merasa sesak dan sambil terisak ia berkata, ‘Aku memang bernazar, dan nazar itu keras’. Mereka tetap di sisi Aisyah sampai Aisyah mengajak bicara Ibnu Zubair. Karena nazarnya itu, Aisyah membebaskan empat puluh budak. Ia mengingat ingat kembali nazarnya, dan langsung menangis sampai kerudungnya basah oleh air matanya”.

Di tengah orang orang yang beriman harus ada satu golongan yang selalu mendamaikan, selalu mengatakan yang benar, memutuskan dengan benar, menunjukkan kepada yang benar dan berlaku adil. “Dan di antara antara orang orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan kebenaran, dan dengan kebenaran itu (pula) mereka menjalankan keadilan”. (QS. Al A’raf : 181).
Ada golongan yang rela mengorbankan waktu mereka, bahkan harta mereka, untuk menciptakan kedamaian dan mencegah terjadinya kejahatan di antara umat manusia.

Ada juga golongan lain yang selalu menghabiskan malamnya untuk dan melibatkan diri dalam upaya menciptakan kedamaian di antara umat manusia, dan mendekatkan hati orang orang yang bertikai. Dengan adanya golongan ini, Allah mencegah terjadinya kejahatan di antara kaum muslimin. Tujuan semua ini adalah Allah; untuk kedamaian mencapai keridhaan-Nya dan selanjutnya untuk mencegah terjadinya kejahatan di antara umat manusia.

c)    Orang orang yang Rela Mengorbankan Hak Mereka untuk Perdamaian

Ketahuilah bahwa demi perdamaian orang boleh mengorbankan sebagian haknya atau seluruhnya. Orang yang mendamaikan boleh menganjurkan salah satu pihak untuk mengalah dengan mengorbankan sebagian haknya atau seluruhnya.

Sebagai contoh, seseorang punya utang sebesar satu juta rupiah. Lama kemudian, yang punya piutang datang menagih, tapi yang ditagih belum punya uang sebesar itu untuk mengembalikan. Dalam keadaan sepert ini, orang yang punya niat untuk mendamaikan boleh menyuruh kepada orang yang punya uang untuk merelakan sebagian yang dipinjam itu. Misalnya, ia mengatakan, “Terimalah seadanya dan relakan sisanya!” Dengan ucapan seperti ini, hak untuk menagih sudah selesai dan ia mendapatkan pahala yang disimpan di sisi Allah.

Disebutkan dalam ash Shahihain  dari Aisyah, Rasulullah mendengar suara orang bertengkar di depan pintu. Suara mereka keras sekali. Ketika salah satu pihak meminta lawan bicaranya untuk merendahkan suara dan melunak, pihak lawan justru mengerang, “demi Allah, aku tidak akan melakukan!” Rasulullah pun menemui mereka dan berkata, “Siapa yang bersumpah atas nama Allah untuk tidak melakukan kebaikan?” Katanya, “Aku, wahai Rasulullah. Aku telah meringankannya dan ia boleh memilih apa yang ia suka”.

Dalam kitab yang sama juga disebutkan dari Ka’ab ibn Malik, bahwa ia minta Ibnu Abi Hadrad untuk melunasi utang padanya pada masa Rasulullah di dalam masjid. Baik Ka’ab maupun Ibnu Abi Hadrad bersuara keras. Saking kerasnya, sampai Rasulullah mendengar suara keduanya dan beliau berada di rumahnya. Beliau keluar dan membuka tabir rumahnya memanggil Ka’ab ibn Malik. Beliau berkata, “Wahai Ka’ab”. Ka’ab menjawab, “Ya, wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah memberi isyarat dengan tangannya agar Ka’ab merelakan sebagian tagihannya. Kata Ka’ab, “Aku patuhi, wahai Rasulullah”. Kata Rasulullah, “Lakukanlah”.

Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Zubair, dan dalam Muslim dari Abdullah ibn Zubair, “Seseorang dari kaum Anshar bertengkar dengan Zubair di hadapan Rasulullah tentang aliran air di tanah berbatu yang menuju ke kebun kurma. Kata orang Anshar itu, ‘Biarkan air itu mengalir!’ Zubair menolak permintaan orang Anshar yang mewakili sejumlah orang yang lain. Dan mereka pun bertengkar dengan Zubair di hadapan Rasulullah. 

Kata Rasulullah kepada Zubair, ‘Hai Zubair, airi (tanamanmu), kemudian biarkan air itu mengalir ke tetanggamu”. Orang Anshar itu marah. Katanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau melakukan demikian karena ia anak buahmu?” Wajah Nabi langsung berubah, dan berkata lagi, “Hai Zubair, airi (tanamanmu), kemudian tahan air itu sampai kembali ke hilirnya”. Kata Zubair, “Sungguh, menurutku ayat berikut turun berkaitan hal ini, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap putusan”. (QS. An Nisa’ : 65)
Contoh lainnya adalah, “Jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi inereka)”. (QS. An Nisa’ : 128)

Namun, jika yang mereka damaikan itu sesuatu yang menyalahi kitab Allah, maka perdamaian itu tertolak. Demikian ditunjukkan dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan Zaid ibn Khalid, “Seorang badui datang menemui Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memohon dengan sangat kepadamu, putuskan perkaraku dengan kitab Allah’. Lawannya yang lebih pandai berkata, ‘Ya, putuskan perkara kami berdasarkan kitab Allah. Tapi, sebelum itu, izinkan aku bicara’. Kata Rasulullah, ‘Katakan!’ Ia kemudian menjelaskan, ‘Anakku memang bekerja pada orang ini, dan berzina dengan istrinya. Ketika aku dikabari bahwa anakku harus dirajam, segera aku bayar denda sebesar seratus kambing dan seorang budak perempuan. Setelah itu, aku bertanya kepada orang orang pandai. Kata mereka, anakku harus dihukum cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedangkan istri orang ini harus dirajam’. Kata Rasulullah, ‘Demi Zat yang jiwaku ada ditangan Nya, aku akan memutuskan perkara kalian berdua dengan (ketentuan di) kitab Allah. Budak perempuan dan kambing harus dikembalikan. Anakmu harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Dan engkau, Unais, temui istri orang ini. Jika ia mengaku, rajamlah’. Dan Unais pun pergi menemuinya. Wanita itu mengaku (telah berzina dengan anak orang itu), dan langsung Rasulullah membawanya, kemudian dirajam”.

Kesimpulannya, perdamaian dengan sesama kaum mukminin itu mengandung banyak kebaikan dan usaha ke arah itu sangat diharapkan. Karenanya, segeralah lakukan kebaikan. Banyak nash yang menunjukkan hal itu :
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran : 133)
“Berlomba-lombalah dalam berbuat berbagai kebajikan”. (QS. Al Ma’idah : 48)
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan kebaikan, dan merekalah orang orang yang segera memperolehnya”. (QS. Al-Mu’minun : 61)

Manusia kadangkala menerima untuk berbuat baik. Tapi ia merasa ragu melakukannya dan setan menggodanya untuk mengejar dunia dan meninggalkan perbuatan baik. Sering juga terjadi perselisihan, namun orang orang yang berselisih segera melakukan perdamaian karena sadar akan manfaat kedamaian.

Jika setiap orang mengetahui semua manfaat ini, niscaya hatinya akan terbuka untuk berbuat baik. Hatinya akan berkata, “Aku akan menemui si Fulan yang pernah aku musuhi. Aku akan memperbaiki hubunganku dengannya”. Tapi sebentar kemudian, ia menjadi enggan melakukan semua kata hatinya itu. Dan setan pun datang, membisikkan segala keburukan yang pernah dilakukan saudaranya itu. Kemudian membuat hatinya tertutup dan urung memperbaiki hubungan.

d)    Perdamaian dalam Kasus Rumah Tangga

Allah SWT berfirman yang artinya : Laki laki adalah pengurus bagi wanita, lantaran apa apa yang Allah anugerahkan kepada sebagian atas sebagian yang lain, dan lantaran apa apa yang mereka nafaqahkan dari harta harta mereka. Maka perempuan-perempuan shalihah, ialah perempuan perempuan yang taat, yang menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada di rumah, dengan penjagaan Allah. Dan perempuan perempuan yang kamu kuatirkan kedurhakaannya, maka nasihatilah mereka itu, tinggalkanlah mereka di tempat tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka sudah (kembali) taat kepadamu, maka jangan kamu mencari cari untuk menyakiti mereka, sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar. Dan jika kamu kuatir akan terjadinya perpecahan antara merrka berdua (suami isteri), maka utuslah seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri, jika mereka berdua itu menghendaki islah, kiranya Allah akan memberikan taufiq antara mereka berdua, sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti. Dan sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kepada keluarga dekat, kepada anak anak yatim, kepada orang orang miskin kepada tetangga dekat, kepada tetangga jauh, kepada teman seperjalanan, kepada ibnu sabil dan kepada hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaanmu, sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang sombong dengan perbuatannya dan sombong dengan perkataannya. (OS An Nisa’ : 34 36).

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan pribadi Sa’d bin Rabi’ bersama isterinya Habibah binti Zaid. Sa’d termasuk salah seorang kepala suku. Tetapi kedua duanya dari suku Anshar. Peristiwanya sebagai berikut: Pada suatu hari Habibah ini durhaka kepada suaminya, lalu sang suami menamparnya.

Kejadian seperti ini lalu dilaporkan oleh ayahnya bersama anaknya itu kepada Nabi saw. Kata si ayah : Anakku Habibah ini telah mempersiapkan tempat tidur buat suaminya, tetapi tahu-tahu suaminya menamparnya”. Maka jawab Nabi, “Dia boleh membalas suaminya”. Begitulah, lalu Habibah bersama ayahnya keluar hendak membalas Sa’d. Tetapi belum seberapa jauh, mereka dipanggil oleh Nabi : “Kembalilah, karena kini Jibril telah datang kepadaku dengan membawa ayat : “Laki laki adalah pengurus bagi wanita... dst”. Seraya Nabi bersabda : “Kami mempunyai kehendak tentang suatu perkara, tetapi Allah pun mempunyai kehendak lain tentang suatu perkara. Sedang kehendak Allah justru lebih baik”. Begitu, maka perintah membalas itu pun dicabutnya.

Ayat di atas memberikan suatu jalan yang amat bijaksana sekali dalam mengatasi kedurhakaan isteri, yaitu sebagai berikut : 
1)    Memberi nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik, sebagai difirmankan Allah : “Maka nasihatilah mereka itu”.
2)    Pisah ranjang dan tidak dicampuri. “Dan tinggalkanlah mereka di tempat tempat tidur”.
3)    Pukulan, yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak dan sebagainya, yang tujuannya untuk menyadarkan. “Dan pukullah mereka”.
4)    Kalau ketiga jalan di atas sudah tidak berguna, maka dicari jalan dengan bertahkim, yaitu : “Mengutus seorang hakam dari keluarga suami, dan seorang hakam lagi dari keluarga isteri”.

Sekalipun memukul ini dibolehkan, tetapi para ulama’ sepakat tidak memukul itu lebih baik, sebab Rasulullah s.a.w. bersabda : “Orang-orang baik kami tidak akan memukul”. (HR. Baihaqi dari Ummu Kultsum).

Ibnu ‘Arabi berkata : Di antara yang paling baik yang pernah saya dengar tentang tafsir ayat ini, ialah perkataan Sa’id bin Jubair sebagai berikut : “Seorang suami harus memberi nasihat kepada istrinya kalau dia mau menerima, kalau tidak harus ditinggalkan, itu pun kalau dia mau menerima, kalau tidak, hendaklah dipukul, kalau ia mau menerima, dan kalau masih tetap tidak mau menerima, maka barulah mengutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam lagi dari pihak isteri. Dua hakam itu harus memperhatikan benar benar siapa yang paling berbahaya, yang dari situlah kemudian diadakan khulu’.

Menurut zhahir ayat di atas, hakam itu dipersyaratkan dari keluarga, karena di situ dikatakan : “Seorang hakam dari keluarga suami, dan seorang hakam dari keluarga isteri”; dan ini wajib. Namun kebanyakan ulama berpendapat ini adalah sunnat. Mereka ini mengatakan: Apabila seorang qadhi mengutus dua hakam dari orang luar, juga boleh. Sebab gunanya hakam itu untuk mengetahui hal ihwal suami isteri dan berupaya untuk mendamaikan, serta meneliti siapa sebenarnya yang zhalim dari kedua pihak itu. Sedangkan tujuan ini dapat dilakukan oleh orang luar, tak ubahnya seperti yang dilakukan pihak keluarga juga. Akan tetapi keluarga lebih mengerti tentang hal ihwal suami isteri itu, dan lebih layak meminta kepada kedua belah pihak untuk islah, bahkan lebih jauh dari kemungkinan untuk cenderung kepada salah satu pihak. Itulah sebabnya maka dipandang lebih patut dan lebih cocok masing masing hakam itu dari pihak isteri dan pihak suami.

Al Alusi berkata : Diistimewakan “keluarga”, karena mereka itulah yang lebih layak meminta untuk ishlah dan lebih mengetahui inti persoalan. Tetapi ini adalah sunnat. Karena itu kalau dua hakam itu terdiri dari orang luar, juga boleh.

2.    Upaya Perdamaian di dalam Hukum Acara Peradilan Agama

a.    Upaya Perdamaian pada Umumnya

Tahap pertama yang harus dilaksanakan oleh Hakim dalam menyidangkan suatu perkara yang diajukan kepadanya adalah mengadakan perdamaian kepada pihak pihak yang bersengketa. Peran mendamaikan pihak pihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi Hakim yang menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang diadilinya. Apabila perdamaian dapat dilaksana¬kan, maka hal itu jauh lebih baik dalam mengakhiri suatu sengketa. Usaha mendamaikan pihak pihak yang berperkara itu merupakan prioritas utama dan dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu dapat berakhir dengan tidak terdapat siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetap terwujudnya kekeluargaan dan kerukunan. Jika tidak berhasil didamaikan oleh Hakim, maka harulah proses pemeriksaan perkara dilanjutkan.

Lembaga perdamaian merupakan salah satu lembaga yang sampai sekarang dalam praktek Pengadilan telah banyak mendatangkan keuntungan baik bagi Hakim maupun bagi pihak pihak yang berperkara. Keuntungan bagi Hakim, dengan adanya perdamaian itu berarti para pihak yang bersengketa telah ikut menunjang terlaksananya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Keuntungan bagi pihak yang bersengketa adalah dengan terjadinya perdamaian itu berarti menghemat ongkos berperkara, mempercepat penyelesaian dan menghindari putusan yang bertentangan. Apabila penyelesaian perkara berakhir dengan perdamaian maka akan menambah jalinan hubungan antara pihak pihak yang bersengketa, hubungan yang sudah retak dapat terjalin kembali seperti sediakala, bahkan mungkin akan bertambah akrab persaudaraannya. Kemudian dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBG dikemukakan bahwa jika pada hari persidangan yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir dalam persidangan, maka Ketua Majelis Hakim berusaha mendamaikan pihak pihak yang bersengketa tersebut. Jika dapat dicapai perdamaian maka pada hari persidangan hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang telah disepakati itu. Putusan perdamaian yang dibuat di muka sidang itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan perdamaian ini tidak dapat diajukan banding ke Pengadilan tingkat banding.

Tentang hal yang berhubungan dengan perceraian dikemukakan dalam Pasal 65 dan 82 Undang undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Pasal pasal ini dikemukakan bahwa Hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha Hakim mendamaikan pihak pihak yang berperkara itu dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Dalam upaya mendamaikan itu Hakim wajib menghadirkan pihak keluarga atau tetangga dekat pihak pihak yang berperkara untuk didengar keterangannya dan meminta bantuan mereka agar pihak pihak yang berperkara itu dapat rukun kembali. Apabila usaha perdamaian telah dilaksanakan oleh Hakim dengan seoptimal mungkin, tetapi tidak berhasil maka barulah Hakim menjatuhkan putusan cerai. Terhadap putusan ini dapat dilaksanakan upaya hukum berupa banding dan kasasi.

Meskipun asas perdamaian telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi tidak sedikit dalam praktek peradilan usaha perdamaian para pihak yang berperkara tidak dilaksanakan oleh para Hakim secara optimal di dalam sidang Pengadilan. Usaha perdamaian yang dilaksanakan oleh para Hakim selama ini (tidak semua) hanya sepintas lalu saja, terkesan sekedar untuk memenuhi formalitas sebagaimana tersebut di dalam peraturan perundang undangan saja.

Agar fungsi mendamaikan dapat dilakukan Hakim lebih efektif, sedapat mungkin dia berusaha menemukan faktor yang melatarbelakangi persengketaan. Terutama sengketa perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran, sangat dituntut kemauan dan kebijaksanaan Hakim untuk menemukan faktor latar belakang yang menjadi bibitnya. Karena berdasar pengalaman dan pengamatan, perselisihan dan pertengkaran yang muncul ke permukaan, sering hanya dilatarbelakangi masalah sepele. Akan tetapi oleh karena suami isteri tidak segera menyelesaikan atau oleh karena suami isteri tidak menemukan cara pemecahan yang rasional, masalah sepele tadi berubah bentuk menjadi perselisihan dan pertengkaran yang berlanjut dan memuncak. 

Sekiranya Hakim dapat menemukan latar belakang perselisihan yang sebenamya, sudah lebih mudah mengajak dan mengarahkan perdamaian. Misalnya, kita ambil salah satu kasus sengketa perceraian atas alasan pertengkaran dan perselisihan. Yang ditonjolkan suami isteri dalam pemeriksaan persidangan dan para saksi hanya fakta fakta perselisihan dan pertengkarannya. Bagi seorang Hakim yang hanya berpijak dari sudut pendekatan formil, sudah barang tentu hanya terpaut sekedar untuk menemukan fakta fakta kuantitas dan kualitas perselisihan dan pertengkaran. Sebaliknya bagi seorang Hakim yang terpanggil untuk melaksanakan fungsi mendamaikan secara optimal, dia tidak terus terjebak pada pencarian dan penemuan fakta fakta kuantitas dan kualitas perselisihan dan pertengkaran. Sebelum dia beralih pada langkah penilaian fakta kuantitas dan kualitas, dia berusaha mencari dan menemukan faktor yang melatarbelakangi perselisihan dan pertengkaran.. Bagaimana mungkin Hakim dapat efektif mengajak dan membujuk untuk berdamai kalau dia sendiri buta akan sebab sebab perselisihan dan pertengkaran yang terjadi.

Asas kewajiban mendamaikan yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989. Asas tersebut tercantum dalam Pasal 65 dan Pasal 82. Jika rumusan kedua Pasal ini diteliti, bunyi rumusan dan maknanya persis sama dengan apa yang tercantum dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975. Bahkan nampaknya, jauh lebih sempurna dan lebih jelas rumusan yang tercantum dalam Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975, yang berbunyi:
(1)  Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
(2)  Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Sedangkan apa yang diatur dalam Pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 persis sama dengan rumusan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi :
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Kemudian apa yang diatur dalam Pasal 82 ayat 4 UU No. 7 Tahun 1989 merupakan bagian yang persis sama dengan rumusan yang tercantum dalam Pasal 31 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975, tanpa menyinggung ketentuan yang dirumuskan pada ayat 1. Itu sebabnya, asas mendamaikan yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989, nampak lebih sempuma diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi nilai asas tersebut sebagai fungsi yang “diwajibkan” UU No. 7 Tahun 1989 kepada para Hakim dalam lingkungan Peradilan Agama.

b.    Upaya Mendamaikan dalam Perkara Perceraian

Khusus dalam perkara sengketa perceraian, asas mendamaikan adalah bersifat “imperatif”. Usaha mendamaikan merupakan beban yang “diwajibkan” hukum kepada Hakim dalam setiap persengketaan perceraian. Memang sifat kewajiban mendamaikan, tidak berlaku secara umum. Sifat imperatif upaya mendamaikan terutama dalam persengketaan perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran. Dalam kasus perceraian inilah fungsi upaya mendamaikan menjadikan kewajiban hukum bagi Hakim. Oleh karena itu, upaya mendamaikan dalam kasus perceraian atas alasan perseli¬sihan dan pertengkaran, harus merupakan upaya nyata secara optimal. Sedang dalam kasus perceraian atas alasan lain, seperti atas alasan zina, cacat badan atau jiwa yang berakibat tidak dapat melaksanakan kewajiban, sifat upaya mendamaikan tetap merupakan fungsi, tapi tidak dituntut upaya optimal.

Begitu juga kasus perceraian atas alasan kekejaman dan penganiayaan, sifat fungsi upaya mendamaikan tidak dituntut secara optimal, sekalipun upaya tersebut dilakukan dengan moralitas yang tinggi dari Hakim, sehingga sifatnya tidak merupakan kewajiban hukum, tapi jatuh menjadi graduasi kewajiban moral. Kenapa fungsi upaya mendamaikan secara optimal merupakan kewajiban hukum dan bukan hanya sekedar kewajiban moral dalam kasus perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran? Sedang rumusan Pasal 82 ayat 4 UU No. 7 Tahun 1989 maupun rumusan Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 tidak mencantumkan kata “wajib”. Rumusan Pasal-pasal tersebut hanya mencantumkan kata “dapat” yakni usaha men¬damaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Memang benar demikian jika rumusan Pasal tersebut dibaca secara parsial akan tersurat makna yang bersifat “fakultatif”. Akan tetapi jika rumusan Pasal itu dibaca secara utuh akan “tersirat” makna yang bersifat “imperatif”. Bukankah rumusan Pasal itu dimulai dengan penegasan : “Selama perkara belum diputus?” Yang berarti selama perkara belum diputus tetap “melekat” upaya mendamaikan dalam perkara perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran.

Jika dalam perkara yang bersangkutan tetap melekat upaya men¬damaikan sampai perkara belum diputus, Hakim “wajib” untuk mengusahakan perdamaian setiap kali perkara diperiksa dalam persidangan. Bahkan pada saat terakhir persidangan sebelum Hakim menjatuhkan putusan, masih melekat pada dirinya fungsi usaha mendamaikan. Kalau begitu bobot fungsi usaha dan upaya mendamaikan mengandung nilai yang mendekati “tata tertib umum” atau “orde publik”. Setiap nilai yang mengandung nilai “tata tertib umum”, tidak boleh diabaikan dan dilang¬gar Hakim. Pelanggaran atas tata tertib umum, mengakibatkan pelanggaran hukum atas tata tertib beracara. Setiap pelanggaran tata tertib beracara yang bernilai tata tertib umum mengakibatkan pemeriksaan persidangan dianggap “tidak sah”. 

Untuk menguji apakah telah dipenuhi proses pemeriksaan yang benar-benar memenuhi tuntutan upaya mendamaikan secara optimal, dapat diteliti dari berita acara pemeriksaan persidangan. Jika sekiranya berita acara pemeriksaan persidangan tidak memuat uraian langkah langkah upaya mendamaikan yang sungguh-sungguh, peradilan tingkat banding atau kasasi, harus mengeluarkan “putusan sela” yang memuat amar memerintahkan peradilan tingkat pertama membuka sidang kembali untuk mengupayakan perdamaian.

Untuk menerapkan asas mendamaikan sesuai dengan yang dikehendaki Undang undang, tata caranya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989. Pasal ini persis sama dengan rumusan yang tercantum dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974. Apa yang dirumuskan dalam Pasal pasal ini, merupakan “prinsip umum” dalam setiap proses pemeriksaan perkara tanpa kecuali. Berarti rumusan Pasal pasal tersebut sejajar dengan prinsip hukum acara perdata yang diatur dalam Pasal 154 HIR atau Pasal 130 RBG, yang mengatur tata tertib proses pemeriksaan perkara mulai dari tahap :
1)    Pernyataan persidangan terbuka untuk umum
2)    Disusul kemudian pembacaan surat gugat atau permohonan
3)    Langkah berikut, mengusahakan “perdamaian”
4)    Jika sekiranya tercapai perdamaian :
a)    Para pihak menyelesaikan sendiri di luar persidangan tanpa campur tangan Hakim.
b)    Atau para pihak dapat meminta hasil perdamaian dituangkan dalam ben¬tuk “putusan perdamaian” oleh Pengadilan.
5)    Jika tidak tercapai perdamaian, proses dapat meningkat kepada tahap pemeriksaan :
a)    Jawab menjawab
b)    Dilanjutkan dengan pemeriksaan pembuktian.

Demikian secara ringkas tata cara pemeriksaan yang dikehendaki Pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 130 HIR atau Pasal 154 R.Bg. Akan tetapi prinsip umum ini, dilampaui jangkauannya dalam pemeriksaan perkara perceraian. Fungsi upaya mendamaikan yang dibebankan ke pundak Hakim, tidak dibatasi hanya pada sidang pertama. Pasal 82 ayat 4 UU No.7 Tahun 1989 jo. Pasal 31 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 melampaui prinsip tersebut. Menurut ketentuan pasal dimaksud, kegiatan upaya mendamaikan dalam perkara perceraian :
1)    Berlanjut selama proses pemeriksaan berlangsung,
2)    Mulai dari sidang pertama sampai pada tahap putusan belum dijatuhkan.


0 komentar to "Hukum Acara Peradilan Agama"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Blog Archive

Web hosting for webmasters