KEDUDUKAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI PENGADILAN AGAMA

by Makmun Aryadi, Fakultas Syari'ah, Prody Hukum Perdata Islam, Semester IV

1.    Dasar Kedudukan Pengadilan Agama
UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan :
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”.
Pasal 3 UU Peradilan Agama tersebut menyatakan :
1)    Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh
a)    Pengadilan Agama
b)    Pengadilan Tinggi Agama
2)    Kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
2.    Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama
a.    Kompetensi Absolut Pengadilan Agama
Sebagai peradilan khusus, Pengadilan Agama mempunyai tugas dan kewenangan tertentu seperti tersebut pada Pasal 49  UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragam Islam di bidang :
1)    Perkawinan
2)    Kewarisan
3)    Wasiat
4)    Hibah
5)    Wakaf
6)    Zakat
7)    Infaq
8)    Shodaqoh
9)    Ekonomi Syari’ah
b.    Jenis-jenis Perkara yang Menjadi Kewenangan Pengadilan Agama
1)    Perkawinan
Bidang hukum Perkawinan atau hukum keluarga meliputi perkara-perkara :
a)    Ijin poligami beserta penetapan harta dalam perkawinan poligami.
b)    Ijin kawin apabila orang tua calon suami/ isteri tidak mengijinkan sementara calon suami/ isteri di bawah usia 21 tahun.
c)    Dispensasi kawin bagi calon suami/ isteri yang beragama Islam dan belum mencapai usia 19 dan 16 tahun.
d)    Penetapan wali adlol jika wali calon isteri menolak menikahkannya.
e)    Permohonan pencabutan penolakan perkawinan oleh KUA.
f)    Permohonan pencegahan perkawinan.
g)    Pembatalan perkawinan.
h)    Permohonan pengesahan nikah/ istibat nikah.
i)    Pembatalan penolakan perkawinan campuran (perkawinan antar warga negara yang berbeda).
j)    Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri.
k)    Cerai talak (perceraian yang diajukan suami).
l)    Cerai gugat (perceraian yang diajukan isteri).
m)    Talak khuluk (perceraian yang diajukan oleh isteri dengan membayar tebusan kepada suami).
n)    Li’an  yaitu cerai talak atas dasar alasan isteri berzina dengan pembuktian beradu sumpah antara suami isteri.
o)    Syiqaq yaitu cerai gugat atas dasar alasan perselisihan suami isteri dengan penunjukan hakam (juru damai) dari keluarga kedua belah pihak.
p)    Kewajiban nafkah dan mut’ah bagi bekas isteri.
q)    Gugatan harta bersama termasuk hutang untuk kepentingan keluarga.
r)    Gugatan penyangkalan anak.
s)    Permohonan/ gugatan pengakuan anak.
t)    Gugatan hak pemeliharaan anak.
u)    Gugatan nafkah anak.
v)    Permohonan pencabutan kekuasaan orang tua terhadap pemeliharaan anak.
w)    Permohonan perwalian.
x)    Gugatan pencabutan kekuasaan wali.
y)    Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasannya.
z)    Pengangkatan anak oleh WNI yang beragama Islam terhadap anak WNI yang beragama Islam.
2)    Kewarisan
a)    Permohonan penetapan ahli waris dan bagiannya masing-masing.
b)    Gugatan waris.
c)    Akta dibawah tangan mengenai keahli warisan.
d)    Akta komparasi tentang pembagian harta waris di luar sengketa.
3)    Wasiat
a)    Gugatan pengesahan wasiat.
b)    Gugatan pelaksanaan wasiat.
c)    Gugatan pembatalan wasiat.
4)    Hibah
a)    Gugatan pengesahan hibah.
b)    Gugatan pembatalan hibah.
5)    Wakaf
a)    Sengketa sah tidaknya wakaf.
b)    Sengketa pengelolaan harta wakaf.
c)    Sengketa keabsahan dan kewenangan nadlir wakaf.
d)    Gugatan sengketa wakaf oleh kelompok (class action).
6)    Zakat, Infaq, dan Shadaqah
a)    Sengketa antara Muzakki dengan BAZIZ.
b)    Sengketa antara Pejabat pengawas dengan BAZIZ.
c)    Sengketa antara Mustahik dengan BAZIZ.
d)    Sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan  baik sendiri maupun class action dengan BAZIZ.
7)    Ekonomi Syariah
Yang dimaksud “Ekonomi Syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syaria’ah, antara lain meliputi :
a)    Bank Syaria’ah.
b)    Lembaga Keuangan Makro Syari’ah.
c)    Asuransi Syari’ah.
d)    Reasuransi Syari’ah.
e)    Reksadana Syari’ah.
f)    Obligasi Syari’ah.
g)    Sekuritas Syari’ah.
h)    Pembiayaan Syari’ah.
i)    Pegadaian Syari’ah.
j)    Dana pensiun Syari’ah.
k)    Bisnis Syari’ah.
Perkara-perkara dibidang Ekonomi Syari’ah tersebut di atas meliputi sengketa-sengketa sebagai berikut :
a)    Sengketa akibat beda menafsiri akad perjanjian.
b)    Sengketa sah tidaknya akan perjanjian.
c)    Sengketa berakhirnya suatu akad perjanjian.
d)    Gugatan ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
e)    Gugatan atas pelanggaran akad perjanjian.
3. Hukum Acara Yang Berlaku di Peradilan Agama
Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan :
“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
a.    Azas-azas Hukum Acara Peradilan Agama
1)    Azas Personalitas Keislaman
Arti azas personalitas keislaman adalah orang yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya  pemeluk agama Islam. Penganut agama lain di luar Islam tidak tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.
Asal personalitas keislaman diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009. Ketundukan personalitas muslim kepada lingkungan Peradilan Agama, “bukan” ketundukan yang bersifat umum meliputi semua bidang hukum perdata, tetapi ketundukan personalitas muslim kepadanya, hanya bersifat “khusus” sepanjang bidang hukum “tertentu”.
Dalam azas personalitas keislaman yang melekat pada UU Peradilan Agama tersebut, dijumpai beberapa penegasan yang melekat membarengi azas dimaksud :
a)    Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam.
b)    Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.
c)    Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Jika hubungan hukum yang terjadi bukan berdasar hukum Islam, sengketanya tidak tunduk menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Misalnya, hubungan hukum ikatan perkawinan antara suami isteri adalah hukum Barat. Sekalipun suami isteri beragama Islam, azas personalitas keislaman mereka ditiadakan oleh landasan hubungan hukum yang mendasari perkawinan. Oleh karena itu, sengketa perkawinan yang terjadi antara mereka tidak tunduk menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tapi jatuh menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
2)    Azas Wajib Mendamaikan Terutama dalam Perkara Perceraian
Azas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat sejalan dengan tuntutan dan ajaran Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan islah (fa aslihu baina akhwaikum). Sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian. Dalam suatu putusan yang bagaimanapun adilnya, pasti harus ada pihak yang “dikalahkan” dan “dimenangkan”. Tidak mungkin kedua pihak sama-sama dimenangkan atau sama-sama dikalahkan. Seadil-adilnya putusan yang dijatuhkan Hakim, akan tetap dirasa tidak adil oleh pihak yang kalah. Bagaimanapun zalimnya putusan yang dijatuhkan, akan dianggap dan dirasa adil oleh pihak yang menang. Lain halnya dengan perdamaian, hasil perdamaian yang tulus berdasar kesadaran bersama dari pihak yang bersengketa, terbebas dari kualifikasi “menang” dan “kalah”. Mereka sama-sama menang dan sama-sama kalah. Sehingga kedua belah pihak pulih dalam suasana rukun dan persaudaraan, tidak dibebani dendan kesumat yang berkepanjangan.
Usaha perdamaian dalam sengketa perceraian menurut Pasal 82 UU Peradilan Agama, harus dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan selama perkara belum diputuskan.
Berdasakan Pasal 130 HIR, Majelis Hakim wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara sebelum memulai pemeriksaan perkara. Untuk mengimplementasikan pasal ini, para pihak diwajibkan menempuh proses mediasi di luar sidang yang teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi.
Dalam perkara perceraian (tentang status), jika mediasi berhasil dan para pihak telah  damai, maka pihak penggugat atau pemohon harus mencabut perkaranya. Dalam perkara sengketa harta benda, jika mediasi berhasil dan para pihak mencapai perdamaian, maka dibuatlah akta dading dan Majelis menjatuhkan putusan perdamaian.
Dengan dicapai perdamaian antara suami isteri dalam sengketa perceraian, bukan hanya keutuhan ikatan perkawinan saja dapat diselamatkan, tetapi sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan pembinaan anak-anak secara normal. Kerukunan antara keluarga kedua belah pihak dapat berlanjut. Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan rumah tangga. Suami isteri dapat terhindar dari gangguan pergaulan sosial kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-anak terhindar dari perasaan terasing dan rendah diri dalam pergaulan hidup. Memperhatikan itu semua, upaya mendamaikan sengketa perceraian, merupakan kegiatan yang terpuji dan lebih diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di bidang yang lain.
3)    Azas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Azas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, diatur pada Pasal 57 ayat 3 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman : “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.
Maksud dari pengertian azas ini dipertegas dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi : “Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Prosedur dan proses hukum acara perdata dalam RV sangat berbelit-belit dengan ssitem “dag vaarding” atau “schriijtelijke procedur” dan sistem “procureur” (procureur stelling) atau “verplichte rechtbijstand” dengan berbagai bentuk putusan sela atau interlocuter vonnis. Tanpa bantuan advokat atau pengacara, tidak mungkin seorang dapat membela dan mempertahankan hak dan kepentingannya. Semua proses pemeriksaan mesti secara tertulis. Lain halnya dengan hukum acara perdata yang diatur dalam HIR atau R.BG. Prosedur dan prosesnya sangat sederhana dengan sistem langsung secara lisan atau “mondelinge procedur” dan “onmiddlelijkeheid Van procedure” di persidangan. Tahap pemeriksaan pembuktian tidak memerlukan bentuk-bentuk putusan sela. Kesederhanaan ini yang dipertahankan azas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Demikian pula hukum acara mufakat dalam fiqih Islam.
Penerapan azas ini tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesederhanaan, kecepatan pemeriksaan, jangan dimanipulasi untuk membelokkan hukum, kebenaran dan keadilan. Semua harus “tepat” menurut hukum (due to law).
4)    Azas Persidangan Terbuka Untuk Umum Kecuali Pemeriksaan Perkara Perceraian
Pasal 59 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 berbunyi :
a)    Sidang pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain dan jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara persidangan, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.
b)    Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya batal demi hukum.
c)    Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
Penerapan azas persidangan terbuka untuk umum dikecualikan dalam pemeriksaan perkara peerceraian. Mengenai pengecualian ini, Pasal 59 ayat (1) sendiri sudah membuka kemungkinan untuk itu dalam rumusan : “Kecuali apabila Undang-undang menentukan lain”. Hal ini sesuai dengan doktrin hukum yang mengajarkan “lex specialis drogat lex generalis”. Ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum. Keadaan inilah yang diatur dalam Pasal 80 ayat 2 UU Peradilan Agama tersebut jo Pasal 17 UU Nomor 33 PP Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal ini menyampingkan ketentuan azas umum yang diatur Pasal 59 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 1970 jo. UU Nomor 04 Tahun 2004 yang berbunyi : “Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup”.
Pelanggaran atas Pasal 33 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 80 ayat 2 UU Peradilan Agama  mengakibatkan pemeriksaan batal demi hukum. Sebab nilai yang terkandung dalam ketentuan itu menyangkut azas ketertiban umum atau orde publik, oleh karena itu dia mutlak bersifat “imperatif”. Satu-satunya cara yang dapat dibenarkan hukum untuk pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, hanya menjangkau selama proses pemeriksaan saja. Penerapannya, hanya meliputi proses pemeriksaan jawab-menjawab, pemeriksaan pembuktian jangkauan ketentuan pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, tidak meliputi pengucapan putusan. Apabila sudah tiba saat proses pemeriksaan sidang pada tahap pengucapan putusan kembali ditegakkan azas persidangan terbuka yang tercantum  dalam Pasal 81 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 34 ayat 1 PP Nomor 9 Tahun 1975 yang berbunyi : “Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
b. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara
Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata, setelah Hakim terlebih dahulu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa, maka tahap-tahap pemeriksaan tersebut ialah :
1)    Pembacaan Gugatan
Pada tahap pembacaan gugatan ini terdapat 3 kemungkinan dari Penggugat/ Pemohon :
a)    Mencabut gugatan
b)    Mengubah gugatan
c)    Mempertahankan gugatan
2)    Jawaban Tergugat
Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan dari pihak Tergugat, yaitu :
a)    Eksepsi/ tangkisan
b)    Mengaku bulat-bulat
c)    Mungkir mutlak
d)    Mengaku dengan klausula
e)    Referte
f)    Rekonpensi (gugat balik)
3)    Replik (dari Penggugat)
Dalam tahap ini Penggugat mungkin mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya atau mungkin Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/ bantahan Tergugat.
4)    Duplik Tergugat
Setelah menyampaikan repliknya, kemudian Tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi pula. Dalam tahap ini, mungkin Tergugat bersikap seperti Penggugat dalam replik tersebut.
5)    Pembuktian
Pada tahap ini baik Penggugat maupun Tergugat diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti, baik berupa saksi-saksi maupun alat bukti lainnya secara bergantian yang diatur oleh Hakim.
Macam-macam alat bukti dalam perkara perdata, yaitu :

a)    Alat bukti surat
b)    Alat bukti saksi
c)    Alat bukti persangkaaan
d)    Alat bukti pengakuan
e)    Alat bukti sumpah
f)    Alat bukti pemeriksaan setempat
6)    Kesimpulan para Pihak
Pada tahap ini, baik Penggugat maupun Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung menurut pandangan masing-masing.
7)    Putusan Hakim
Pada tahap ini, Hakim merumuskan duduk perkaranya dan pertimbangan hukum mengenai perkara tersebut disertai dengan alasan-alasan dan dasar-dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan Hakim mengenai perkara yang diperiksanya itu.
Putusan dilihat dari fungsinya dalam mengakhiri sengketa ada 2 macam :
a)    Putusan akhir (eind vonnis)
b)    Putusan sela (tussen vonis)
c.    Hukum Acara Khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009
Dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Bagian Kedua, Bidang Teknis Peradilan, Peradilan Agama, halaman 216-234 diatur hal-hal yang ringkasnya sebagai berikut :
1)    Bidang Perkawinan
Beberapa perkara berikut dapat diajukan dan diperiksa serta diputus secara voluntoir, maksudnya : berbentuk permohonan yang hanya terdiri dari pihak Pemohon saja dan tidak terdapat sengketa. Padahal menurut azasnya perkara terdiri dari dua pihak yang sedang bersengketa atau disebut perkara contensios. Perkara voluntoir tersebut adalah :
a)    Permohonan dispensasi umur kawin
b)    Permohonan izin kawin
c)    Permohonan penetapan wali adhol
d)    Permohonan penetapan perwalian
e)    Permohonan penetapan asal-usul anak
2)    Bidang Perceraian
a)    Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 memberi kemudahan dan perlindungan kepada isteri dalam hal di Pengadilan Agama mana perceraian diajukan.
(1)    Suami mengajukan cerai talak di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (isteri) (Pasal 66 (2)).
(2)    Isteri mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (isteri) (pasal 73 (2)).
b)    Dalam perkara perceraian tidak ada pihak yang kalah atau menang, sehingga biaya perkara dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon (Pasal 89 ayat (1))
c)    Pemeriksaan perkara perceraian dalam sidang tertutup (pasal 68 (2) dan 80). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga rahasia pribadi para pihak.
d)    Permohonan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama-sama dengan permohonan cerai talak/ gugat cerai ataupun sesudahnya (Pasal 66 ayat (5) 86 ayat (1))
e)    Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik diminta atau tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak suami untuk memberi nafkah isteri maupun anaknya (Pasal 44 c UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 a UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006.
f)    Hak bekas isteri maupun anaknya atas bagian bekas suaminya yang Pegawai Negeri, dapat dituntut dan diputus dalam perkara perceraiannya (PP 10 Tahun 1983 jo. PP 45 Tahun 1990).
3)    Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Islam
a)    Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menganut azas personalitas keislaman, oleh karena itu Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara waris/ wasiat apabila pewaris (si mayit) beragama Islam.
b)    Hibah yang dilakukan oleh orang Islam kepada orang Islam apabila timbul sengketa adalah menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
c)    Bagi orang yang menghendaki surat keterangan ahli waris misalnya untuk mengambil deposito di Bank, dapat dibuat akta di bawah tangan kemudian dimintakan pengesahan (gewaasmarker) kepada Ketua Pengadilan Agama.
d)    Akta comparisi pembagian harta waris di luar sengketa dapat dilakukan berdasarkan pasal 107 UU Peradilan Agama jo. 236 a HIR.
4)    Sengketa Milik
Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan :
(1)    Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2)    Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
d. Pemeriksaan dan Penyelesaian Perkara Perceraian Hak-hak Anak
Pemeriksaan dan penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama berdasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum acara perdata umum dan ketentuan khusus yang terdapat dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 serta Kompilasi Hukum Islam, dapat diringkas sebagai berikut:
1)    Cerai Talak
a)    Cerai talak dijatuhkan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap isterinya.
b)    Cerai talak yang dijatuhkan oleh suami yang telah riddah (keluar dari agama Islam), produk putusannya bukan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
c)    Prosedur pengajuan permohonan dan proses pemeriksaan cerai talak agar dipedomani Pasal 66 s/d Pasal 72 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006  UU Nomor 3 Tahun 2006 jo. Pasal 14 s/d Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
d)    Gugatan penguasaan anak dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak.
e)    Selama proses pemeriksaan cerai talak sebelum sidang pembuktian, isteri dapat mengajukan rekonvensi mengenai pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah dan harta bersama.
f)    Selama proses pemeriksaan cerai talak, suami dalam permohonannya dapat mengajukan permohonan provisi, demikian juga isteri dalam gugatan rekonvensinya dapat mengajukan permohonan  provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
g)    Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah atas suami untuk isterinya, sepanjang isterinya tidak terbukti berbuat nusyuz, dan menetapkan kewajiban mufah (ex pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf a dan Pasal 151 Kompilasi Hukum Islam).
h)    Dalam pemeriksaan cerai talak, Pengadilan Agama sedapat mungkin berupaya mengetahui jenis pekerjaan suami yang jelas dan pasti dan mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata perbulan untuk dijadikan dasar pertimbangan menetapkan nafkah anak, mut’ah, nafkah madhiyah dan nafkah iddah.
i)    Agar memenuhi azas manfaat dan mudah dalam pelaksanaan putusan, penetapan mut’ah sebaiknya berupa benda bukan uang, misalkan rumah atau tanah atau benda lainnya.
j)    Dalam hal Termohon tidak hadir di persidangan dan perkara akan diputus verstek, Pengadilan harus melakukan sidang pembuktian mengenai kebenaran adanya alasan perceraian yang didalilkan oleh Pemohon.
k)    Untuk keseragaman, amar putusan cerai talak berbunyi :
“Memberi izin kepada Pemohon (nama ..…… bin …..….) untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon (nama …… binti ……) di depan sidang Pengadilan Agama ……”.
l)    Untuk menghindari terjadinya talak bid’i, Pengadilan Agama sebaiknya menunda sidang ikrar talak, apabila si isteri dalam keadaan haid kecuali bila isteri rela dijatuhi talak.
m)    Untuk keseragaman amar putusan cerai talak yang diajukan oleh suami yang riddah (keluar dari agama Islam) sebagaimana tersebut dalam huruf b) di atas berbunyi :
“Menjatuhkan talak satu bain shughra Pemohon (nama ..…… bin …..….) terhadap Termohon (nama …… binti ……)”.
2)    Cerai Gugat
a)    Cerai gugat diajukan oleh isteri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat.
b)    Prosedur pengajuan gugatan dan pemeriksaan cerai gugat agar dipedomani Pasal 73 s/d Pasal 86 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 14 s/d Pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975.
c)    Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah isteri, mufah, nafkah iddah dan harta bersama.
d)    Selama proses pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang pembuktian, suami dapat mengajukan rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama.
e)    Dalam perkara cerai gugat, isteri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 PP Nomor 9 Tahun 1975.
f)    Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah terhadap suami, sepanjang isterinya tidak terbukti telah berbuat nusyuz (ex Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
g)    Dalam pemeriksaan cerai gugat, Pengadilan Agama sedapat mungkin berupaya untuk mengetahui jenis pekerjaan dan pendidikan suami yang jelas dan pasti dan mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata per bulan, untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan nafkah madhiah, nafkah iddah dan nafkah anak.
h)    Cerai gugat atas alasan taklik talak harus dibuat sejak awal bahwa perkara tersebut perkara gugat cerai atas alasan taklik talak, agar selaras dengan format laporan perkara.
i)    Dalam hal Tergugat tidak hadir di persidangan dan perkara akan diputus dengan verstek, Pengadilan harus melakukan sidang pembuktian mengenai kebenaran adanya alasan perceraian yang didalilkan oleh Penggugat.
j)    Untuk keseragaman, amar putusan cerai gugat, kecuali cerai gugat atas alasan taklik talak dan khuluk berbunyi : “Menjatuhkan talak satu ba’in shughra Tergugat (nama …….. bin ………) terhadap Penggugat (nama …….. binti ………)”.
k)    Amar putusan cerai gugat atas dasar alasan pelanggaran taklik talak berbunyi : “Menetapkan jatuh talak satu khul’i Tergugat (nama …. bin .…) terhadap Penggugat (nama …. binti ….) dengan iwadh sebesar Rp. …… (………Tulis dengan huruf)”.



3)    Talak Khuluk
a)    Talak khuluk ialah gugatan dari isteri untuk bercerai dari suaminya. Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat.
b)    Untuk keseragaman, amar putusan talak khuluk berbunyi :
“Menjatuhkan talak satu khul’i Tergugat (nama ….. bin ……) terhadap Penggugat (nama …….. binti ………) dengan iwadh uang sebesar Rp. …….. (……… tulis dengan huruf), dan atau dengan iwadh berupa rumah atau benda lainnya”.
4)    Syiqaq
a)    Dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian gugat cerai atas dasar alasan cekcok terus menerus ex Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditambah Pasal 116 KHI, Pengadilan Agama harus memedomi Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dilakukan pembuktian saksi kemudian didengar keterangan keluarga atau orang dekat suami isteri. Keterangan keluarga atau orang dekat dari suami dan isteri bila difungsikan sebagai bukti, harus disumpah.
b)    Gugatan atas alasan syiqaq harus dibuat sejak awal bahwa perkara tersebut perkara syiqaq, bukan perubahan dari gugat cerai atas dasar cekcok terus menerus yang kemudian dijadikan perkara syiqaq.
c)    Pemeriksaan dan penyelesaian gugat cerai atas dasar syiqaq harus berpedoman pada Pasal 76 UU Peradilan Agama yaitu memeriksa saksi-saksi dari keluarga atau orang-orang dekat dengan suami isteri, setelah itu Pengadilan Agama mengangkat keluarga suami atau isteri atau orang lain sebagai hakam. Hakam melakukan musyawarah, hasilnya diserahkan kepada Pengadilan Agama sebagai dasar putusan.
d)    Hasil musyawarah hakam dapat dijadikan bukti awal oleh Majelis Hakim di dalam menjatuhkan putusan.
e)    Untuk keseragaman, amar putusan cerai dengan alasan syiqaq berbunyi :
“Menjatuhkan talak satu ba’in shughra Tergugat (nama ….. bin ……) terhadap Penggugat (nama …….. binti ………)”.
5)    Li’an
a)    Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan isteri atas dasar alasan suami zina, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada gugat cerai biasa, yaitu dilakukan pembuktian dengan saksi atau sumpah pemutus, atau atas dasar putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap bahwa suaminya melakukan tindak pidana zina.
b)    Pemeriksaan dan penyelesaian cerai talak yang diajukan suami atas dasar alasan isteri berzina, dapat dilakukan berdasar hukum acara sebagaimana tersebut dalam huruf a di atas atau dengan cara li’an (ex Pasal 87 88 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009).
c)    Proses pemeriksaan cerai talak dengan li’an setelah Pemohon dan Termohon melakukan jawab menjawab, dilakukan proses pembuktian. Bila tidak diketemukan alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR jo Passal 284 RBg selain bukti sumpah, Pengadilan Agama menanyakan suami apakah akan melakukan sumpah li’an. Apabila suami menghendaki untuk mengucapkan sumpah li’an, maka Pengadilan Agama memerintahkan suami mengucapkan sumpah li’an sebanyak empat kali yang berbunyi : “Demi Allah saya bersumpah bahwa isteri saya telah berbuat zina” dan setelah itu dilanjutkan dengan ucapan : “Saya siap menerima laknat Allah bila saya berdusta” setelah suami disumpah, Pengadilan Agama menanyakan kepada isteri apakah ia bersedia mengangkat sumpah nukul (sumpah balik), bila isteri bersedia mengangkat sumpah nukul (sumpah balik), Pengadilan Agama memerintahkan isteri untuk mengucapkan sumpah sebanyak empat kali yang berbunyi : “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak berbuat zina”, dan setelah itu dilanjutkan dengan ucapan : “Saya siap menerima laknat Allah apabila saya berdusta”.
d)    Untuk keseragaman, amar putusan cerai gugat atas dasar alasan zina berbunyi :
“Menjatuhkan talak satu ba’in shughra Tergugat (nama ….. bin ……) terhadap Penggugat (nama …….. binti ………)”.
e)    Amar putusan cerai talak dengan alasan li’an berbunyi :
“Menjatuhkan talak satu ba’in kubra Pemohon (nama ….. bin ……) terhadap Termohon (nama …….. binti ………)”.
Demikian juga prosedur penyelesaian perkara hak-hak anak harus berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum acara perdata umum dan ketentuan khusus yang terdapat di dalam Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut :
1)    Perkara Asal-usul Anak
a)    Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang tidak sah adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau lahir dalam perkawinan yang sah akan tetapi disangkal oleh suami dengan sebab li’an.
b)    Di samping, pengingkaran anak sah dapat pula dilakukan perbuatan hukum sebaliknya, yaitu pengakuan anak dimana seseorang dapat mengakui seorang anak sebagai anaknya yang sah.
c)    Pengadilan Agama dalam proses penyangkalan dan pengakuan anak, harus mempedomani hal-hal sebagai berikut :
(1)    Suami mengajukan gugatan penyangkalan anak kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana pihak Tergugat bertempat tinggal.
(2)    Proses pemeriksaan perkara penyangkalan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah dapat dilakukan dengan cara proses li’an.
(3)    Proses li’an dimaksud dalam angka (2) dapat dilakukan dalam hal sebagai berikut :
(a)    Jika anak lahir sebelum masa 180 hari sejak hari perkawinan dilangsungkan, kecuali anak tersebut hasil hubungan suami isteri sebelum dilakukan perkawinan.
(b)    Jika suami dapat membuktikan bahwa anak yang berusia 180 hari atau lebih yang dikandung isterinya, atau anak yang dilahirkan bukan anaknya yang sah, karena dia dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan hubungan biologis dengan isterinya.
(4)    Gugatan penyangkalan anak yang tidak dilakukan dengan acara li’an, dilakukan dengan pembuktian biasa.
(5)    Gugatan penyangkalan anak diajukan selambat-lambatnya 2 bulan setelah anak dilahirkan, jika Penggugat bertempat tinggal dalam daerah dimana anak dilahirkan atau selambat-lambatnya 2 bulan sejak diketahui kelahiran anak tersebut dalam hal Penggugat berada di luar daerah dimana anak tersebut dilahirkan atau dalam hal kelahiran anak tersebut disembunyikan.
(6)    Pengakuan anak dapat diajukan secara voluntair dan dapat juga diajukan secara kontensius kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana anak atau wali anak bertempat tinggal.
(7)    Permohonan pengakuan anak yang tidak di bawah kekuasaan atau perwalian orang lain, bersifat volunter.
(8)    Permohonan pengakuan yang berada di bawah kekuasaan atau perwalian orang lain, bersifat kontensius.
(9)    Permohonan dan gugatan pengakuan anak selambat-lambatnya diajukan 6 bulan sejak anak tersebut ditemukan.
(10)    Amar putusan penyangkalan anak berbunyi :
“Menyatakan anak bernama ……….. umur/ lahir ……… bertempat tinggal di …………………….. bukan anak sah dari Penggugat”.
(11)    Amat permohonan pengakuan anak secara voluntair berbunyi :
“Menetapkan anak bernama ……….. umur/ lahir ……… bertempat tinggal di …………………….. adalah anak sah dari Pemohon nama ………… bin/ binti …………..”.
(12)    Amar putusan gugatan pengakuan anak secara kontensius berbunyi :
(a)    “Menetapkan anak bernama ……… umur/ lahir ……… bertempat tinggal di …………………….. adalah anak sah Penggugat nama ………… bin/ binti …………..”.
(b)    Menghukum Tergugat untuk menyerahkan anak tersebut kepada Penggugat.
(13)    Pengadilan Agama paling lambat satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap mengirimkan salinan putusan tersebut kepada kantor Catatan Sipil dalam daerah dimana anak tersebut bertempat tinggal untuk didaftarkan dalam buku daftar yang disediakan untuk anak itu.
2)    Perkara Pemeliharaan Anak (Hadlonah)
a)    Nafkah anak merupakan kewajiban ayah, dalam keadaan ayah tidak mampu, ibu berkewajiban untuk memberi nafkah anak. Oleh karena nafkah anak merupakan kewajiban ayah dan ibu, maka nafkah lampau anak tidak dapat dituntut oleh isteri sebagai hutang suami. Tegasnya tidak ada nafkah madhiyah untuk anak.
b)    Pemeliharaan anak pada dasarnya untuk kepentingan anak, baik untuk pertumbuhan jasmani, rohani, kecerdasan intelektual dan agamanya. Oleh karenanya, ibu lebih layak dan lebih berhak untuk memelihara anak di bawah usia 12 tahun.
c)    Pemeliharaan anak yang belum berusia 12 tahun dapat dialihkan pada ayahnya, bila ibu dianggap tidak cakap, mengabaikan atau mempunyai perilaku buruk yang akan menghambat pertumbuhan jasmani, rohani, kecerdasan intelektual dan agama si anak.
d)    Pengalihan pemeliharaan anak tersebut dalam huruf c di atas, harus didasarkan atas putusan Pengadilan Agama dengan mengajukan permohonan pencabutan kekuasaan orang tua jika anak tersebut oleh Pengadilan Agama telah ditetapkan di bawah asuhan isteri.
e)    Pencabutan kekuasaan orang tua dapat diajukan oleh orang tua yang lain, anak, keluarga dalam garis lurus ke atas, saudara kandung dan pejabat yang berwenang (jaksa).
f)    Untuk keseragaman, amar putusan permohonan pemeliharaan anak berbunyi :
“Menetapkan anak bernama ……….. bin,              binti ……… umur ……… tahun/ tanggal lahir …………….. berada di bawah hadhanah”.
g)    Dalam hal hadhanah dimintakan pencabutan ke Pengadilan Agama, maka amarnya berbunyi :
(1)    “Mencabut hak hadhanah dari Termohon (nama ……… binti .………)”.
(2)    “Menetapkan anak bernama ……… bin/ binti .……… berada di bawah hadhanah Pemohon (nama .…… bin/ binti .……)”.
3)    Perkara Perwalian Anak
a)    Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali yang ditunjuk dengan wasiat oleh orang tua, sebelum orang tua si anak tersebut meninggal, baik secara tertulis atau lisan yang disaksikan oleh dua orang saksi atau wali yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama karena kekuasaan kedua orang tua dicabut.
b)    Dalam hal wali melalaikan kewajibannya terhadap anak, atau berkelakuan buruk sekali atau tidak cakap, keluarga dalam garis lurus ke atas, saudara kandung, pejabat/ kejaksaan dapat mengajukan pencabutan kekuasaan wali secara kontensius kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana wali melaksanakan kekuasaan wali.
c)    Gugatan pencabutan wali dapat digabung dengan permohonan penetapan wali pengganti serta gugatan ganti rugi terhadap wali yang dalam melaksanakan kekuasaan wali menyebabkan kerugian terhadap harta benda anak di bawah perwalian (ex Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 54 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
d)    Amar putusan pencabutan wali berbunyi :
(1)    “Mencabut hak perwalian atas anak nama ………… bin/ binti .……… umur/ lahir ………. dari Tergugat (nama …… bin/ binti ………)”.
(2)    “Menetapkan anak bernama ……… bin/ binti .……… umur/ lahir ………. di bawah perwalian ………… (nama .…… bin/ binti .……)”.
(3)    “Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp. …….. (……… tulis dengan huruf)”. Kumulasi dan Rekonpensi Perkara Hak-hak Anak dalam Perkara Perceraian.

e.  Komulasi dan Rekonpensi
1)    Kumulasi
Kumulasi artinya pengumpulan. Pengumpulan dapat terjadi apabila ada lebih dari seorang Penggugat melawan seorang Tergugat atau seorang Penggugat melawan beberapa orang Tergugat, disebut kumulasi subjektif. Bisa juga terjadi pengumpulan beberapa gugatan tidak dibolehkan dalam 3 hal, yaitu :
a)    Kalau untuk suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu acara khusus seperti gugatan perceraian sedangkan tuntutan lain harus diperiksa menurut acara biasa (seperti gugatan tentang harta).
b)    Apabila Hakim tidak berwenang untuk memeriksa salah satu tuntutan yang diajukan bersama-sama dalam satu gugatan dengan tuntutan lainnya.
c)    Tuntutan tentang Bezit tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendom dalam suatu gugatan.
Penggabungan perkara dapat dilakukan apabila ada koneksitas diantara perkara yang satu dengan perkara yang lainnya, perlu dilihat dari sudut kenyataan atau fakta dan bila digabungkan akan mempermudah jalannya acara pemeriksaan serta dengan menghindari putusan yang saling berlawanan, menghemat tenaga, biaya dan waktu.
a)    Berdasarkan Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 78 UU Peradilan Agama, Kumulasi obyektif dalam praktek Pengadilan Agama dapat terjadi dalam perkara perceraian yang digabungkan sekaligus dengan tuntutan nafkah selama ditinggal, nafkah anak, pemeliharaan anak dan nafkah iddah. Obyek gugatan tersebut dapat dituntut sekaligus bersamaan dengan perkara gugatan cerai, karena hal ini akan memudahkan proses berperkara, menghemat waktu dan tenaga serta biaya. Obyek gugatan dalam perkara tersebut termasuk dalam kompetisi absolut Peradilan Agama dan dapat diperiksa sekaligus dalam acara khusus.
2)    Rekonpensi
Yang dimaksud dengan gugatan Rekonpensi adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat asli sebagai Penggugat Rekonpensi kepada Penggugat asli sebagai Tergugat Rekonpensi, dalam sengketa yang sedang berjalan diantara mereka pasal 132 HIR dan Pasal 157 RBg membutuhkan gugat Rekonpensi kecuali dalam tiga hal :
a)    Penggugat dalam kualitas yang berbeda. Rekonpensi tidak boleh diajukan kepada Penggugat dalam kualitas yang berbeda.
b)    Pengadilan yang memeriksa Konpensi tidak berwenang memeriksa gugatan Rekonpensi.
c)    Dalam perkara mengenai pelaksanaan putusan Rekonpensi tidak pula dibenarkan mengenai pelaksanaan putusan Hakim, karena bukan lagi menyangkut penetapan hak, perkaranya sudah diputus hanya tinggal pelaksanaan hak, sebagaimana telah ditetapkan oleh hakim.
Adanya lembaga gugat Rekonpensi ini bertujuan sebagai berikut :
a)    Menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan.
b)    Mempermudah prosedur.
c)    Menghindarkan putusan yang saling bertentangan.
d)    Menetralisir tuntutan Konpensi.
e)    Menyederhanakan pemeriksaan.
f)    Menghemat biaya.
Gugat Rekonvensi dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama adalah bila seorang suami mengajukan perceraian kemudian pada saat diadakan pemeriksaan perkaranya, pihak isteri balik mengajukan gugatan tentang penguasaan anak dan menggugat biaya pemeliharaan serta pendidikan anak mereka (sesuai ketentuan Pasal 66 ayat 5 Undang-undang Peradilan Agama), atau dalam kasus dengan posisi sebaliknya, dimana pihak isteri mengajukan gugatan cerai kemudian pada saat mulai diperiksa perkaranya suami balik mengajukan tentang penguasaan anak, menggugat harta bersama dan lain (Pasal 86 ayat 1 Undang-undang).
4.    P e n  u t u p
Tulisan sederhana ini dimaksudkan untuk menjadi bahan kuliyah Kemahiran Litigasi (KKL) di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang  tahun  akademik 2009/2010. Segala kekurangannya agar didiskusikan dalam perkuliyahan.

                                                                             Magelang, 16-12-2009
                                                                              Hasanuddin, SH. MH.


1 komentar to "KEDUDUKAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI PENGADILAN AGAMA"

  • saran dari saya
    kalau nulis, paragrafnya tlong dilurusin dong. Nomor-nomornya itu. Materinya bagus, tapi bikin bingung yang baca....karena rata semua nomor sama abjadnya.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Blog Archive

Web hosting for webmasters